Film sebagai Sarana Memperkuat Kebudayaan Nasional
Budaya lebih merujuk kepada pola pikir seorang manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan rasa yang disebut komunikasi
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi X DPR RI fraksi PDI Perjuangan Rano Karno mengatakan film tidak hanya sebagai sarana hiburan semata, namun juga bisa dijadikan alat untuk memperkuat kebudayaan nasional.
Demikian diikatakan Rano Karno dalam webinar Bulan Bung Karno yang mengangkat tema "Rakyat Sumber Kebudayaan Nasional", Selasa (16/6/2020).
"Jadi memang sejak zaman perjuangan, film Itu adalah sebuah strategi untuk memajukan sebuah kebudayaan nasional. Jadi film itu bukan hanya sebagai hiburan semata, memiliki tujuan yang dilakukan Indonesia pada waktu itu," kata Rano.
Pria yang lekat dengan sosok Si Doel Anak Sekolahan itu menegaskan film memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa.
Baca: Negara-negara ASEAN Tidak Masuk Travel Bubble Indonesia, Ini Alasannya
Dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional.
Hal itu sesuai dengan UU nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman.
"Jadi ini memang untuk self defense, agar ideologi kita tidak terganggu. Karena itu negara bertanggung jawab untuk memajukan perfilman," ujarnya.
Lebih lanjut, Rano menjelaskan definisi kebudayaan itu sendiri.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, Rano mengatakan budaya diartikan sebagai adat istiadat, akal pikiran maupun budi.
Baca: Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Jember, LaNyalla Titip Perkuat Pendidikan Budi Pekerti
Dengan kata lain, budaya lebih merujuk kepada pola pikir seorang manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan rasa yang disebut komunikasi.
"Inilah budaya. Budaya itu hasil komunikasi yang terjadi di lingkungan atau yang disebut dengan adat istiadat," kata Rano.
Rano mencontohkan penemuan besar hasil dari komunikasi yang dilakukan Soekarno (Bung Karno).
Yaitu saat Bung Karno menciptakan ideologi marhaenisme sebagai antitesis dari kapitalis.
"Marhaen itu cuma seorang petani sederhana, berbaju lusuh yang ditemui oleh Bung Karno yang ditemui secara tidak sengaja. Bekerja di sawahnya kira-kira pada tahun 1920 Bung Karno menyapa petani itu," ucapnya.
"Kemudian aku menanyakan nama petani itu dia menyebut namanya Marhaen. Nah saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Bertemu dengan Marhaen seorang petani kurus kering tidak punya apa-apa tercetus ilham, aku akan menamakan semua petani yang bernasib malang seperti dia adalah Marhaen," kata Rano meniru perkataan Bung Karno.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.