Terbukti Berbuat Makar, Eks Ketua BEM Uncen Ferry Kombo Divonis 10 Bulan Penjara
Menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada mantan Ketua BEM Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua, Ferry Kombo
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada mantan Ketua BEM Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua, Ferry Kombo, dalam perkara tindakan makar.
”Menjatuhkan vonis pidana kepada terdakwa Ferry Kombo dengan pidana penjara selama 10 bulan,” ujar Majelis hakim dalam persidangan yang disiarkan langsung secara daring, Rabu (17/6/2020).
Ferry adalah satu dari tujuh terdakwa dalam kasus tindakan makar yang ditudingkan
atas unjuk rasa menolak rasialisme pada Agustus 2019 di Papua.
Majelis hakim PN Balikpapan menilai Ferry terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana makar sebagaimana diatur dalam Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Dalam vonisnya, majelis hakim menetapkan masa kurungan Ferry telah dikurangi
seluruhnya semenjak masa penangkapan hingga masa kurungan dari vonis yang
dijatuhkan.
Selain Ferry, majelis hakim PN Balikpapan juga menjatuhkan vonis 10 bulan penjara
kepada rekannya sesama mahasiswa dari Universitas Sains dan Teknologi Jayapura
(USTJ), Irwanus Uropmobin.
Baca: Tampil Loyo di Coppa Italia, Juventus bersama Cristiano Ronaldo Terancam Nihil Gelar Musim Ini
Baca: SEDANG BERLANGSUNG Live Streaming TVRI Belajar dari Rumah SD Kelas 1-3 Sahabat Pelangi: Yeay Menang!
Baca: Kronologi Dokter Dipolisikan Pasien: Diduga Lakukan Pelecehan Seksual, Pertanyakan Laporan Korban
Baca: Mensos: Bantuan Sosial Diperpanjang Sampai Akhir Tahun, Tapi Besarannya Rp 300 Ribu Per Bulan
Vonis terhadap Ferry dan Irwanus dengan demikian berkurang dari masa kurungan yang dilayangkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang sebelumnya, masing- masing 10 tahun.
Sedangkan Buchtar Tabuni, Sekretaris United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), sebuah organisasi pembebasan Papua Barat, divonis dengan masa hukuman 11 bulan masa tahanan, lebih ringan dari tuntutan JPU yakni 17 tahun penjara.
Majelis hakim PN Balikpapan menilai Buchtar terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana makar sebagaimana diatur dalam Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai hal-hal yang meringankan Buchtar
Tabuni antara lain terdakwa menyesali perbuatannya, bersikap sopan selama
persidangan, dan terdakwa masih memiliki tanggungan keluarga.
Sementara hal-hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa menurut majelis hakim telah meresahkan masyarakat, terutama masyarakat Papua.
Selain itu, terdakwa juga sebelumnya telah ernah menjalani masa hukuman sebanyak dua kali.
Majelis hakim juga menyatakan vonis terhadap Buchtar belum bersifat hukum tetap.
Majelis hakim memberi waktu selama tujuh hari terhadap terdakwa untuk memutuskan, menerima, menolak, atau akan mengajukan banding terhadap putusan majelis hakim.
Selain Ferry, Irwanus, dan Buchtar, para terdakwa lainnya rata-rata juga divonis antara
10 bulan-11 bulan penjara. Ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura
Alexander Gobai divonis 10 bulan penjara. Vonis serupa dijatuhkan pada Hengki Hilapok.
Sementara Ketua KNPB Mimika Steven Itlay divonis 11 bulan penjara, sama dengan
vonis yang diterima oleh Ketua Umum KNPB, Agus Kossay.
Para terdakwa dijerat tindak pidana makar, sebagaimana diatur dalam Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dalam surat dakwaan kesatu.
Sementara itu pengacara terdakwa Gustav Kawer mengapresiasi vonis hakim yang jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa.
"Putusan ringan hari ini bentuk dukungan dan perjuangan kita bersama," kata Gustav usai persidangan.
Namun, tim hukum masih akan menimbang langkah lanjutan apakah akan mengajukan banding atau tidak.
“Untuk upaya hukum, kami pikir-pikir selama seminggu,” tambahnya.
Kasus hukum yang menjerat tujuh pelaku makar ini berawal dari demonstrasi besar-
besaran yang melanda sebagian besar wilayah Papua pada Agustus 2019. Demonstrasi
itu merespons aksi massa sekelompok masyarakat terhadap Asrama Papua di
Surabaya, Jawa Timur.
Dalam pandangan Majelis Hakim, ketujuh terdakwa dianggap
mengorganisir aksi demonstrasi.
Aksi protes ini disebut sarat dengan pesan-pesan untuk mendesak pelaksanaan referendum, ditambah dengan atribut bendera bintang kejora.
Polri Membantah
Di Jakarta Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono membantah tujuh terdakwa aktivis
Papua yang menjalani sidang putusan kasus makar di PN Balikpapan itu sebagai
tahanan politik (Tapol).
Argo menegaskan tujuh warga Papua itu merupakan pelaku kriminal, bukan tahanan politik.
"Mereka murni pelaku kriminal yang mengakibatkan terjadi kerusuhan di Papua dan khususnya di Kota Jayapura," kata Argo dalam keterangannya, Rabu (17/6).
Dalam perkara tersebut, Argo mengatakan terjadi provokasi sehingga banyak
masyarakat Papua yang mengalami kerugian, baik materil maupun harta benda.
"Jelas mereka pelaku kriminal, sehingga saat ini proses hukum yang dijalani oleh mereka adalah sesuai dengan perbuatannya," ucap Argo.
Argo mengatakan polisi memiliki alasan dan telah mengumpulkan barang bukti sehingga akhirnya menetapkan tujuh warga Papua itu sebagai pelaku makar.
Argo pun berharap agar penegakan hukum di Papua tidak lagi dianggap sebagai persoalan politik.
"Kami berharap penegakan hukum Papua tidak dianggap sebagai persoalan politik, karena ini murni kriminal," ujarnya.(tribun network/igm/dod/kps)