Polemik Kartu Prakerja: Ada Potensi Kerugian Negara Hingga Respons Istana
Hasil temuan KPK terkait program Kartu Prakerja ditanggapi sejumlah pihak. Istana memilih isu ditanyakan langsung ke Kemenko Perekonomian
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purwono meminta temuan KPK tersebut
ditanyakan langsung kepada Kementerian Koordinator bidang Perekonomian atau Manajemen
Pelaksana (PMO) Program Kartu Prakerja.
"Untuk isu Kartu Prakerja jangan ke saya. Langsung ke Kemenko Perekonomian saja, atau ke direktur programnya langsung," kata Dini kepada Kompas.com, Jumat (19/6/2020).
Baca: WP Dapat Fasilitas Pajak Penghasilan jika Lakukan 5 Kegiatan Ini
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menilai pemerintah perlu segera melaksanakan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait Program Kartu Prakerja.
KPK merekomendasikan pemerintah meminta pendapat hukum atau legal opnion kepada Kejaksaan Agung,
terkait kerjasama program Kartu Prakerja dengan delapan platform digital.
"Menurut saya penting sekali bagi penyelenggara program untuk meminta legal opinion dari Kejaksaan Agung, untuk memastikan semuanya sesuai koridor hukum," kata Sahroni kepada wartawan kemarin.
Politikus Partai NasDem itu menyebut rekomendasi yang disampaikan KPK kepada penyelenggara Kartu Prakerja sudah sesuai aturan dan fungsinya, agar tidak ada celah praktik korupsi.
"Mereka tidak hanya melakukan penindakan, namun juga pencegahan. Rekomendasi KPK ini sudah pas, baik dari
substansi maupun timingnya (waktu)," kata dia.
"Momentum yang pas untuk KPK memberikan review terhadap sistemnya agar niat baik pemerintah bisa tetap baik eksekusinya," tutur Sahroni.
Sebelumnya, KPK melakukan kajian atas Program Kartu Prakerja dan menemukan sejumlah permasalahan pada empat aspek.Aspek pertama yang mendapat sorotan yakni proses pendaftaran.
Ada 1,7 juta pekerja terdampak (whitelist) sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Namun, faktanya, hanya sebagian kecil dari whitelist tersebut yang mendaftar secara daring, yaitu 143.000 orang.
"Sedangkan, sebagian besar peserta yang mendaftar untuk tiga gelombang yaitu sebesar 9,4 juta pendaftar, bukanlah target yang disasar oleh program ini," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata Kamis (18/6) dua hari lalu.
KPK menemukan kerja sama dengan delapan platform digital tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Dalam hal ini, KPK mendorong agar pemerintah meminta legal opinion kepada Kejaksaan Agung tentang kerja sama delapan platform digital dalam program Kartu Prakerja, termasuk penyediaan barang dan jasa pemerintah atau bukan.
KPK juga menilai, kurasi materi pelatihan tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai.
Alex menyebut hanya 13 persen dari 1.895 pelatihan yang memenuhi syarat, baik materi maupun penyampaian secara daring.
KPK menilai metode pelaksanaan program pelatihan secara daring rawan jadi fiktif, tidak efektif, dan dapat merugikan keuangan negara.
"Karena metode pelatihannya hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme pengendalian atas penyelesaian pelatihan yang sesungguhnya oleh peserta," ujar Alex.
Rugikan Negara
Marwata menyebut metode pelaksanaan program pelatihan program Kartu Prakerja berpotensi merugikan negara.
“Metode pelaksanaan program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif dan merugikan keuangan negara,” sebut Alex.
Alexander menyampaikan, metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang sesungguhnya oleh peserta.
KPK juga mendapatkan sejumlah temuan ihwal lembaga pelatihan yang menerbitkan sertifikat meski peserta belum menyelesaikan keseluruhan paket pelatihan yang telah dipilih.
“Peserta sudah mendapatkan insentif meskipun belum menyelesaikan seluruh pelatihan yang sudah dibeli, sehingga negara tetap membayar pelatihan yang tidak diikuti oleh peserta,” kata Alex.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) sempat melakukan kajian sejenis terkait Kartu Prakerja.
Dalam temuan ICW, Sejumlah lembaga pelatihan diragukan kredibilitasnya dalam penyelenggaraan pelatihan secara daring.
Selain itu, dari hasil survei Indikator yang dirilis Minggu (7/6/2020), sebanyak 38,7% responden tidak setuju dengan program pelatihan online yang terintegrasi dalam Kartu Prakerja.
Sementara itu, 10,2% menyatakan sangat tidak setuju.
Adapun 25,3% responden setuju dengan program tersebut, dan 4,5% sangat setuju.
Baca: PUPR Targetkan Serap 28.987 Tenaga Kerja dari Pemeliharaan Jalan dan Jembatan
Jika digabungkan antara yang bernada setuju dan tidak setuju, 48.9% responden tidak setuju.
Sedangkan kelompok yang setuju 29,8%. Ada 21,4% lainnya yang memilih tidak tahun dan tidak menjawab. (tribun
network/sen/gle/kompas.com)