Penasihat Hukum Imam Nahrawi Masih Pertimbangkan Ajukan Banding
Dia menilai tidak ada alat bukti yang dijadikan sebagai dasar majelis hakim memutus perkara
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penasihat hukum mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi, mempertimbangkan mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan majelis hakim.
Majelis hakim menjatuhkan vonis pidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp 400 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Imam.
Baca: Tak Hanya Divonis 7 Tahun Penjara, Mantan Menpora Imam Nahrawi Wajib Ganti Uang Negara Rp 18 M
Putusan dibacakan di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (29/6/2020).
Upaya mengajukan banding itu setelah tim penasihat hukum berkonsultasi dengan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), setelah sidang pembacaan putusan itu berlangsung.
"Semangatnya ke sana. Tetapi, ini masih berproses selama 7 hari. Kemungkinan-kemungkinan akan ke sana karena beliau sampaikan pokoknya kami terus berjuang," kata Wa Ode Nur Zaenab, penasihat hukum Imam Nahrawi, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (30/6/2020).
Tim penasihat hukum merasa kecewa terhadap putusan tersebut.
"Jadi saya bisa memahami kekecewaan beliau. Beliau nih orang santri, keluarga santri tentu nama baik keluarga tercoreng. Jadi itu beliau merasa sedih nama baik keluarga sebagai keluarga santri tercoreng," ujarnya.
Dia menilai tidak ada alat bukti yang dijadikan sebagai dasar majelis hakim memutus perkara.
Dia mengklaim majelis hakim memutus perkara hanya berdasarkan petunjuk yang didapat di persidangan.
"Sementara fakta yang ada di persidangan tidak ada saksi yang menyatakan Pak Imam menerima uang atau melakukan komunikasi-komunikasi terkait proposal KONI. Dan semalam saya mencatat beberapa kali majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya tidak adanya pemberian kepada Imam Nahrawi," ujarnya.
Seharusnya, dia menambahkan, alat bukti petunjuk itu diperoleh dari alat-alat bukti yang diatur di Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Jadi tidak mungkin kemudian orang dihukum karena petunjuk. Bukti petunjuk itu rangkain dari alat bukti, ada saksi, ada surat, ada ahli. Nah dalam persidangan Imam Nahrawi, tidak ada alat bukti baik itu," tambahnya.
Sebelumnya, Imam Nahrawi, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), divonis pidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp 400 juta subsider 3 bulan kurungan.
Majelis hakim membacakan amar putusan di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (29/6/2020).
Imam terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan berlanjut terkait pemberian dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), serta penerimaan gratifikasi.
"Mengadili, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana diancam dakwaan kesatu dan kedua," kata Rosmina, hakim ketua saat membacakan amar putusan.
Selain pidana pokok, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti.
Imam Nahrawi diperintahkan membayar uang senilai RP 18,1 Miliar.
Lalu, mengingat Imam Nahrawi sebagai politisi dan pernah menjabat sebagai menteri, maka mencabut hak untuk dipilih menempati jabatan publik selama 4 tahun setelah selesai menjalani hukuman pidana.
Sedangkan, upaya pengajuan sebagai justice collaborator yang diajukan Imam ditolak majelis hakim.
Untuk diketahui, Imam didakwa menerima suap bersama-sama dengan asisten pribadinya, Miftahul Ulum sebesar Rp 11,5 Miliar dan gratifikasi Rp 8,64 Miliar.
Baca: KPK Buka Peluang Jerat Pihak Lain Usai Imam Nahrawi Divonis 7 Tahun Penjara
Pada sidang pembacaan tuntutan, Jaksa Penuntut Umum menuntut Imam pidana 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Imam juga dituntut membayar uang pengganti sejumlah Rp19,1 miliar dan mencabut hak dipilih dalam pemilihan jabatan publik selama lima tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.