MK Tetapkan Penarikan Permohonan Ki Gendeng Pamungkas
MK mengabulkan penarikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan pemohon Ki Gendeng Pamungkas.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan pemohon Ki Gendeng Pamungkas.
Demikian sidang pembacaan Ketetapan Nomor 35/PUU-XVIII/2020 yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (22/7/2020)
“Mengabulkan penarikan kembali Permohonan Pemohon,” kata Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya dalam sidang yang digelar dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19, seperti dilansir laman MK RI.
Baca: Baru Ungkap Ki Gendeng Pamungkas Meninggal Dunia, Hakim MK Tegur Kuasa Hukum
Dalam ketetapan itu dijelaskan, Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan pada 9 Mei 2020 dari Ki Gendeng Pamungkas.
Berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 8 Mei 2020 Ki Gendeng Pamungkas memberi kuasa kepada Tonin Tachta Singarimbun dkk yang diterima di Kepaniteraan MK pada 10 Mei 2020 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) dengan Nomor 35/PUU-XVIII/2020 pada 19 Mei 2020 perihal pengujian Pasal Pasal 1 angka 28, Pasal 221, Pasal 222 dan Pasal 225 ayat (1) dari UU No. 7/2017.
Menanggapi permohonan tersebut, MK menerbitkan Ketetapan Ketua MK tentang Pembentukan Panel Hakim untuk memeriksa Perkara Nomor 35/PUU-XVIII/2020, Ketetapan Panel Hakim tentang Penetapan Hari Sidang.
MK juga telah melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan tersebut pada 16 Juni 2020.
Panel Hakim terlebih dahulu meminta penjelasan dan kepastian perihal berita terkait meninggalnya seorang warga negara bernama Ki Gendeng Pamungkas.
Baca: Pemohon Uji Materi Bernama Ki Gendeng Pamungkas Bingungkan MK, Kuasa Hukum Dimiinta Klarifikasi
Berkenaan dengan hal itu, Panel Hakim meminta penjelasan dan kepastian kepada kuasa hukum Pemohon, apakah Ki Gendeng Pamungkas yang diberitakan tersebut adalah orang yang sama dengan Pemohon Prinsipal.
Namun kuasa hukum menjelaskan yang meninggal dunia adalah Iman Santoso bukan Ki Gendeng Pamungkas, Pemohon Prinsipal.
Panel Hakim meminta kuasa Pemohon untuk memastikan kebenaran informasi tersebut dan disampaikan kepada Panel Hakim pada Sidang Panel dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan Pemohon.
Kemudian Panel Hakim memberikan nasihat berkenaan dengan permohonan Pemohon.
Kemudian pada 6 Juli 2020, MK menggelar sidang perbaikan permohonan.
Panel Hakim meminta kembali kebenaran informasi tentang berita meninggalnya Ki Gendeng Pamungkas.
Namun kuasa hukum tidak dapat memberikan informasi kepastian tentang berita dimaksud tetapi kuasa Pemohon menyerahkan Surat Kematian Nomor 474.3/69-TGL, atas nama Iman Santoso, kepada Panel Hakim. Panel Hakim meragukan Surat Kematian tersebut.
Karena itu, untuk meyakinkan kebenaran informasi dimaksud, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada tanggal 6 Juli 2020 memerintahkan Panel Hakim untuk menyelenggarakan Persidangan Pendahuluan Tambahan pada tanggal 13 Juli 2020 dengan agenda menghadirkan Pemohon Prinsipal, Ki Gendeng Pamungkas.
Baca: Ki Gendeng Pamungkas Meninggal, Begini Suasana Rumahnya di Bogor
Sebelum diselenggarakan sidang pendahuluan tambahan, MK menerima surat dari kuasa hukum Pemohon perihal pencabutan permohonan Perkara No. 35/PUU-XVIII/2020 yang diterima MK pada 9 Juli 2020.
Dengan alasan, kuasa hukum Pemohon telah mendapatkan kepastian meninggalnya Pemohon Prinsipal Ki Gendeng Pamungkas pada 6 Juni 2020.
Rapat Permusyawaratan Hakim pada 13 Juli 2020 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 35/PUU-XVIII/2020 beralasan menurut hukum dan permohonan Pemohon tidak dapat diajukan kembali.
Sebelumnya, Pemohon menguji UU Pemilu. Materi yang diuji antara lain Pasal 1 angka 28 UU Pemilu yang menyatakan, “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang selanjutnya disebut Pasangan Calon adalah pasangan calon peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai potitik yang telah memenuhi persyaratan”.
Kemudian Pasal 221 UU Pemilu yang menyatakan, “Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik” dan Pasal 222 UU Pemilu, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Selain itu, Pasal 225 ayat (1) UU Pemilu, “Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dapat mengumumkan bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden sebelum penetapan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD”.
Pemohon mendalilkan, norma yang diujikan bertujuan untuk kepentingan keutuhan dan rasanyaman warga negara jika antara eksekutif dan parlemen bukan berasal dari partai sebagaimana sekarang.
Maka partai berkuasa dapat segala-galanya di kepresidenan dan parlemen sebagaimana peristiwa KPK yang tidak dapat masuk ke kantor PDIP dan seterusnya. Demikian juga masuknya TKA Cina dalam keadaan Covid-19 atau pembuatan Perppu sampai kepada mengatur anggaran Covid-19 tidak memerlukan persetujuan parlemen.
Maka hal ini benar-benar telah menantang Pemohon untuk memperbaki ketatanegaraan dengan cara menjadi presiden atau wakil presiden sehingga tidak lagi dengan orasi atau demonstrasi jalanan.
Pemohon beranggapan, penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden yang memperoleh dukungan kuat dari masyarakat bukan dari partai politik atau gabungan partai politik saja sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Di samping itu, menurut Pemohon, pengaturan terhadap pemilu presiden dan wakil presiden dalam undang-undang a quo belum menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif agar tidak terjadi seorang calon presiden atau wakil presiden dan atau partai politik/gabungan partai politik yang kalah menjadi menteri atau masuk dalam jajaran presiden dan atau wakil presiden yang menang.