Di Balik Peristiwa 27 Juli 96: Mimbar Demokrasi Megawati yang Buat Orba Ketakutan
Sejarawan Asvi Warman Adam menjelaskan, sejak berkuasa, rezim Orba sebenarnya sudah melakukan tindakan-tindakan represif
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Lusius Genik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 dikenal sebagai peristiwa Kudatuli.
Nama Kudatuli merupakan akronim dari tanggal terjadinya peristiwa Sabtu kelabu yang menampilkan aksi kekerasan massa Pro-Soerjadi merebut kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Soerjadi 'disponsori' Rezim Orde Baru mengambil alih paksa kantor DPP PDI lewat pertumpahan darah.
Pada tahun 1987 dan1992, suara Partai PDI mengalami kenaikan signifikan disebabkan masuknya putra-putri Bung Karno ke partai.
Baca: Politikus PDIP Desak Komnas HAM Berani Ungkap Dalang Peristiwa Kudatuli
Yakni Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra. Bergabungnya Megawati ke PDI pada 1987 meresahkan banyak pihak, terutama pemerintah Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto.
"Soerjadi 'disponsori' rezim Orde Baru (Orba) karena saat itu Megawati terpilih sebagai ketua umum partai. Jadi insiden itu adalah insiden perebutan kantor DPP PDI," jelas Bonnie Triyana dalam diskusi virtual Forum Jas Merah bertema "Huru-Hara di Penghujung ORBA: Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996", di Jakarta, Senin (27/7).
Megawati menjadi anggota DPR dan karier politiknya di PDI melejit. Melambungnya suara PDI pada Pemilu 1987 dan 1992 mengkhawatirkan penguasa Orde Baru. Begitu pula Soerjadi yang ketokohannya tersaingi Megawati waktu itu.
Megawati kemudian menjabat Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres PDI di Surabaya pada 1993. Dengan dukungan mayoritas kader PDI, Megawati berhasil merebut pucuk kepemimpinan dari Soerjadi, hingga terjadinya peristiwa 27 Juli 1996.
Kejadian itu sedikitnya melibatkan kubu Pro-Soerjadi, rezim Orde Baru Soeharto, dan sejumlah pejabat militer seperti Sutiyoso yang saat itu merupakan Pangdam Jaya dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Kepala Staf Komando Kodam Jaya.
Sejarawan Asvi Warman Adam menjelaskan, sejak berkuasa, rezim Orba sebenarnya sudah melakukan tindakan-tindakan represif kepada masyarakat. Misal pembredelan semua koran terkecuali koran terkait militer. Tindakan represif itu berlanjut terus sepanjang 30 tahun.
"Contoh di tahun 1980-an, ada tiga pemuda menjual buku karangan Pramoedya Ananta Toer dihukum lebih dari 5 tahun hanya karena menjual buku yang dinyatakan dilarang oleh Orba," ucap Asvi.
Dalam kasus PDI, lanjut Asvi, terjadi kenaikan suara yang antara lain disebabkan masuknya Megawati dan Guruh Soekarnoputra menghawatirkan rezim Orde Baru. Berupaya menggembosi kekuatan Megawati, rezim Orde Baru memberikan perlawanan dengan mengusung Soerjadi menjadi tandingan Megawati sebagai pucuk tertinggi di partai.
PDI kubu Megawati tak tinggal diam. Mengadakan aksi unjuk rasa menolak kemenangan Soerjadi yang disponsori Orde Baru, hingga mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tak hanya itu, perlawanan yang dilakukan Megawati juga digelorakan dengan membuat gerakan Mimbar Bebas.
"Mimbar demokrasi Megawati Soekarnoputri membuat rakyat mengkritik rezim Orba, rezim Orba ketakutan sampai akhirnya terjadi peristiwa itu. Diawali dengan kenaikan suara partai PDI pada tahun 1987 dan 1992," jelas Asvi.
"Kenaikan suara menghawatirkan rezim. Di masa rezim orba tidak boleh ada oposisi," sambung dia.
Selain itu, ada aspek internasional melingkupi peristiwa itu. Pada 23-25 Juli 1996, Menlu Amerika Serikat (AS) Warren Christopher datang ke Indonesia untuk hadir di pertemuan menteri-menteri luar negeri.
Di kesempatan itu, Christopher sempat bertemu dengan Komnas HAM dan Menlu Rusia Primakov. Menurut penuturan Alm. Taufiq Kiemas, kata Asvi, sebenarnya pada 28 Juli 1996 Menlu Christopher akan bertemu dengan Megawati.
Namun sehari sebelum pertemuan itu, terjadi peristiwa kelabu 27 Juli 1996. Rezim Orba, menurut penuturan Asvi, tak ingin pertemuan antara Megawati dan Menlu AS terjadi. Menlu AS dikenal sebagai sosok yang memberi perhatian dengan masalah HAM ke Indonesia dan beberapa negara lain di dunia.
"Ini aspek penting juga, bahwa peristiwa itu terjadi sehari sebelum terjadi pertemuan antara Megawati dan Warren Christopher," ujar Asvi.
Terkait dalang di balik peristiwa 27 Juli 1996, Asvi mengisahkan tulisan wartawan senior Rosihan Anwar yang rumahnya tidak jauh dari kantor PDI. Di hari kejadian, kebetulan Rosihan sedang berolahraga.
Menyaksikan kerumunan di DPP Partai PDI, Rosihan mendekat kepada Kapuspen ABRI yang saat itu dijabat Amir Syarifuddin. Rosihan, kata Asvi, mengaku mendengar langsung bagaimana Amir bicara dengan Pangdam Jaya Sutiyoso lewat walkie talkie.
“Yos, masuklah ke dalam. Ini hari sudah siang. Kita terlambat nanti,” ucap Asvi menirukan Rosihan.
"Intinya Rosihan mengungkap bahwa semua kejadian ini permainan Soeharto dengan ABRI-nya," ujar Asvi.
Asvi menjelaskan, sebuah buku karangan Peter Kasenda mengungkap adanya pertemuan di Markas Kodam Jaya pada 24 Juli 1996. Pertemuan tersebut mengungkap bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mempunyai peran di balik terjadinya peristiwa itu.
"Ada pertemuan 24 Juli 1996 di Markas Kodam Jaya, dipimpin SBY dan disitu dibicarakan juga rencana mengambil alih kantor PDI ini. Jadi ada beberapa kemungkinan dalang atau aktor intelektual kejadian itu ditulis di media massa, tapi tak sampai ke pengadilan," urai Asvi.
Satu yang jelas, peristiwa 27 Juli 1996 adalah awal perlawanan rakyat yang sistematis terhadap rezim Orde Baru. Karena rakyat merasakan benar tekanan keras kepada masyarakat dan partai politik.
"Kejadian ini juga sekaligus awal kejatuhan Orba di 1998," imbuh Asvi.
Namun, lanjut Asvi, yang lebih penting untuk menjadi refleksi dari peristiwa 27 Juli 1996 yakni fakta bahwa peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM sepanjang Orba itu masih banyak yang bersifat impunitas.
"Tidak benar-benar terselesaikan secara tuntas. Banyak pelanggaran-pelanggaran HAM berat termasuk sejak tahun 1965-1998 itu masih terkatung-katung," tutup Asvi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.