Refleksi Kudatuli, Sejarawan Sebut Orba Lakukan Represi Sejak 1965
Asvi Warman Adam membeberkan catatan panjang tindakan represi yang dilakukan rezim Orde Baru
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam membeberkan catatan panjang tindakan represi yang dilakukan rezim Orde Baru Soeharto selama tiga dekade berkuasa.
Hal itu disampaikan dalam diskusi daring bertema Huru-hara di Pengujung Orba, Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996 yang diselenggarakan Forum Jas Merah, Senin (27/7/2020).
Asvi mencatata, represi yang dilakukan Orba terhadap lawan-lawan politiknya dilakukan sejak rezim tersebut mulai berkuasa di Indonesia.
Baca: Sejarawan Minta Narasi di Buku Sejarah soal Peristiwa 27 Juli 1996 Agar Diluruskan
Hal itu ditandai dengan pemberedelan koran-koran yang memberitakan peristiwa 1965.
"Sejak Oktober 1965, Orde Baru sudah melakukan represi, ditandai dengan pemberedelan sejumlah media massa kecuali koran militer. Jadi sejak awal represi sudah dilakukan oleh Orba dan itu berlanjut terus sepanjang 30 tahun," kata Asvi.
Dalam upaya melanggengkan kekuasaan, Orba juga tidak menghendaki adanya oposisi.
Asvi mengatakan, di sekitar tahun 1980, ada tiga anak muda di Yogyakarta dihukum penjara lebih dari lima tahun hanya karena menjual buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang dinyatakan dilarang oleh ezim Orba.
Sementara dalam kasus PDI, Asvi mencatat ada kenaikan perolehan suara PDI dalam pemilu terutama sejak tahun 1987 hingga 1992. Kenaikan suara PDI ini terjadi lantaran kampanye yang dilakukan dua anak Soekarno yakni Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soelarnoputra sejak tahun 1987.
"Hal ini kemudian membuat rezim penguasa resah," kata Asvi.
Puncak dari akumulasi keresahan Orba terjadi saat rezim ini merekayasa perpecahan di internal PDI antara kubu Soeryadi dan Megawati.
Baca: Formappi: DPR Sekarang Hampir Terlihat Sama Dengan DPR Era Orde Baru
Perpecahan internal yang direkayasa Orba ini akhirnya semakin menghangat pada Juli 1996. Kubu pro Megawati menggelar mimbar demokrasi selama tiga minggu berturut-turut di depan kantor PDI di Jalan Diponegoro.
"Mimbar demokrasi yang mengkritik pemerintah secara terbuka ini sangat menakutkan bagi rezim Suharto. Kemudian terjadilah peristiwa 27 Juli 1996," kata Asvi.
Kritik narasi di buku sejarah
Ia juga menyatakan narasi sejarah mengenai penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDIP) yang dikenal sebagai peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) masih berbau narasi kekuasaan versi penguasa Orde Baru (Orba) Soeharto.
Asvi mengatakan dirinya sangat khawatir dengan narasi sejarah di buku pelajaran resmi yang menjadi pegangan bagi para guru dalam mengajar murid-murid di sekolah.
Baca: Politikus PDIP: Indonesia Tidak Boleh Terlena Akan Dominasi Obat Impor
"Menjadi soal adalah bagaimana peristiwa 27 Juli ditulis dalam sejarah Indonesia. Sejarah mutakhir 2008, masih menyudutkan PDI atau PDI-P. Karena yang dituding melakukan kekerasan adalah pendukung Megawati, misalnya tulisan di dalam buku yang jadi rujukan guru mengajarkan sejarah," kata Asvi
Asvi mengutip salah satu buku pelajaran sejarah yang menyebut bahwa pada 27 Juli 1996 pendukung Megawati terkonsentrasi di Megaria dan mencoba menembus blokade aparat.
Berikutnya, dikatakan massa membakar sejumlah bangunan seperti Gedung Bank Kesawan dan showroom mobil. Lalu, aksi pendukung Megawati yang masih bergerak.
Asvi mengatakan, dalam narasi tersebut tidak jelas disebutkan siapa pelakunya.
Namun, secara tidak langsung juga dikaitkan dengan pendukung Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PDI.
"Saya garis bawahi ada kalimat 'massa membakar apartemen' dan tak disebutkan pelakunya. Hanya massa. Namun, kalimat itu di antara kalimat yang menyangkut pendukung Megawati. Orang awam akan membaca bahwa yang membakar itu adalah pendukung Megawati. Jadi menurut saya ini harus diluruskan di dalam buku yang jadi pedoman guru mengajarkan sejarah," papar dia.
Ia mengatakan, sejak 2 Oktober 1965, rezim Orde Baru sudah melakukan kontrol ketat terhadap media massa sebagai alat penyebar pesan atau narasi sejarah versi penguasa Orde Baru.
Asvi mengatakan, selepas peristiwa Kudatuli, Kassospol ABRI saat itu, Syarwan Hamid mengumpulkan media massa.
"Tanggal 28, media massa dikumpulkan oleh Syarwan Hamid. Pimred-pimrednya dikumpulkan untuk menyampaikan narasi penguasa saat itu," kata Asvi.
Pada akhir diskusi, Asvi kemudian menyinggung soal pelanggaran HAM berat pada era Orde Baru. Menurut dia, masih banyak kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum tuntas.
"Peristiwa pelangaran HAM di era Orba masih bersifat impunitas, tidak ada yang diselesaikan secara tuntas. Banyak pelanggaran termasuk HAM berat sejak 1965 sampai 1998 masih terkatung-katung," kata Asvi.
Ia pun berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat ini.
Presiden Joko Widodo pernah berjanji pada periode pertama pemerintahannya untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM.
"Meskipun kita sedang hadapi wabah corona, seyogyanya sehabis masalah itu, kita berupaya juga mencoba menyelesaikan masalah HAM masa lalu sehingga bangsa ini tak menanggung terus beban ini sepanjang masa," kata Asvi.
Sebagian artikel ini tayang di Kompas.com dengan judul: Peneliti Sejarah Kritik Narasi soal Kudatuli dalam Buku Pelajaran