''Fishers Center'' Diharapkan Bisa Akhiri Praktik Eksploitatif di Kapal Perikanan
Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) membuka fishers' center untuk mengakhiri praktik eksploitatif di kapal perikanan.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) membuka fishers' center untuk mengakhiri praktik eksploitatif di kapal perikanan.
Perlindungan awak kapal Indonesia menjadi salah satu konsentrasi pemerintah belakangan.
Terlebih lagi setelah mencuatnya kasus anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal berbendera China yang jenazahnya dilarung di lepas pantai.
Baca: Viral ABK Indonesia Dilarung di Perairan Somalia, Diduga Alami Penyiksaan dan Perbudakan
Baca: Kemenlu Serahkan 3 ABK yang Diculik Perompak di Perairan Gabon Kepada Keluarga
Hal ini mengingatkan masih adanya praktik eksploitatif di industri perikanan termasuk kerja paksa dan perdagangan orang.
Saat ini pemerintah Indonesia sedang meratifikasi Konvensi ILO tentang Kerja di Bidang Penangkapan Ikan No.188/2007.
Kepala tim nasional untuk perlindungan awak kapal perikanan, Basilio Dias Araujo mengatakan kerangka peraturan ini akan menjadi dasar untuk menegakkan hukum kepada ABK.
"Diharapkan ini akan mendorong sinergi yang lebih baik diantara lembaga kementerian dalam menyelaraskan peraturan," katanya dalam webinar yang diselenggarakan Yayasan Plan Internasional (Plan Indonesia), Kamis (30/7/2020).
Webinar ini diselenggarakan juga untuk memperingati Hari Menentang Perdagangan Manusia Sedunia yang jatuh pada 30 Juli.
Diskusi nasional ini membahas tentang perlindungan bagi awak kapal perikanan dari pandemi virus corona (Covid-19).
Direktur Program Yayasan Plan Internasional Indonesia, Romatio Wulandari mengatakan dalam diskusi juga dibahas bagaimana upaya pemangku kepentingan dalam memberantas praktik eksploitatif.
"Hari menentang perdagangan manusia sedunia mengingatkan kita akan perlunya bekerja secara kolaboratif untuk mengakhiri perbudakan modern ini, termasuk praktik pekerja anak di industri perikanan," katanya
Laporan FAO memproyeksikan bahwa produksi ikan global akan naik menjadi 187 juta ton pada tahun 2030, sehingga permintaan tenaga kerja AKP akan meningkat.
Bertambahnya permintaan dan berkurangnya pasokan sumber daya ikan menyebabkan kapal semakin menjauh dari daratan dan bertahan di tengah laut dalam waktu yang lama.
Akibatnya praktik eksploitatif sangat dimungkinkan terjadi.
"Perdagangan manusia mempengaruhi setiap negara di dunia, baik sebagai negara asal, transit atau tujuan, bahkan kombinasi ketiganya," lanjut Roma.
Implikasi pandemi Covid-19 juga telah menyebabkan peningkatan perdagangan manusia di laut karena memicu ketidakpastian global.
Melalui proyek SAFE Seas, Plan Indonesia, didukung USDOL membentuk Safe Fishing Alliance (SFA) untuk mendorong rantai pasokan yang adil dan transparan dalam industri perikanan diantara sektor swasta dan pemerintah.
Di tingkat komunitas, SAFE Seas bermitra dengan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia dengan mendirikan dua fishers' center di Tegal, Jawa Tengah dan Bitung, Sulawesi Utara.
"Fishers' Center bertujuan untuk mengakhiri praktik eksploitatif dan juga meningkatkan pemahaman pekerja di industri perikanan tentang hak-hak kerja dan kondisi kerja yang layak," lanjutnya.