Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Muhammadiyah: Tradisi Lama Kurban Perlu Diubah, Mulai dari Big Data hingga Cara Distribusi

tradisi kurban adalah cermin kemajuan dan keadaban umat islam, sebab kurban tujuannya untuk membangun jiwa kemanusiaan dan keadaban yang luhur

Penulis: Reza Deni
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Muhammadiyah: Tradisi Lama Kurban Perlu Diubah, Mulai dari Big Data hingga Cara Distribusi
Repro/Kompas TV
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti saat diwawancarai Kompas TV di Jakarta, Rabu (29/3/2017). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai perlu ada perubahan dari tradisi berkurban di Hari Raya Idul Adha.

Menurut Mu'ti, tradisi kurban adalah cermin kemajuan dan keadaban umat islam, sebab kurban tujuannya untuk membangun jiwa kemanusiaan dan keadaban yang luhur.

"Diperlukan big data sehingga penerima (mustahilk) dan pemberi kurban (ahli kurban) terdata dengan baik. Pendataan dimaksudkan agar hewan kurban tidak terkonsentrasi di kota-kota besar dan masjid agung," kata Mu'ti dalam keterangannya yang diterima, Jumat (31/7/2020).




Hal ini perlu dilakukan, karena menurut Mu'ti masalah distribusi terkait daging kurban tidak merata.

Baca: Sambut Idul Adha, AHY Ajak Masyarakat Saling Tolong Menolong di Masa Pandemi

"Jumlah hewan kurban melimpah dan berlebih di masjid perkotaan dengan jemaah aghniya (kaya), sementara di masjid perkampungan yang mayoritas jemaah kelas bawah kurban sangat terbatas, bahkan berkekurangan," katanya.

Sehingga, Mu'ti mengatakan tebar kurban di daerah tertinggal, terluar dan terpencil (3T) yang sudah mulai dirintis oleh beberapa lembaga filantropi patut diapresiasi dan perlu dikembangkan.

"Distribusi dan pengadaan kurban di daerah 3T juga dapat menggerakkan ekonomi masyarakat bawahdan pemberdayaan peternak," lanjutnya.

BERITA TERKAIT

Perubahan tradisi berkurban yang perlh diubah yakni terkait penyembelihan kurban. Menurut Mu'ti, penyembelihan hewan kurban lebih baik dilakukan di rumah pemotongan hewan (RPH).

"Memang terasa tidak afdal karena tidak melihat langsung hewan kurban. Akan tetapi, penyembelihan di RPH juga harus dilaksanakan sesuai syariat. Hewan disembelih oleh jagal muslim yang profesional, juga terjamin kebersihan dan terjaga keamanannya karena tidak ada kerumunan massa," tukasnya.

Terlebih, Mu'ti tahu bahwa kerumunan massa saat adanya tontonan hewan disembelih bakal menimbulkan potensi adanya klaster baru pandemi Covid-19.

"Islam mengajarkan agar hewan disembelih dengan ihsan: pisau yang tajam, penuh kasih sayang, dan tidak menyakiti binatang. Penyembelihan yang amatiran harus diakhiri. Jika hewan kurban disembelih di masjid, musala, perkantoran, dan sebagainya, seyogianya dilakukan oleh jagal profesional," kata Mu'ti.

Selanjutnya, terkait pemberian daging kurban, Mu'ti menilai di masa pandemi ini, daging kurban diberikan langsung kepada penerima.

"Penerima akan merasa terhormat dan erhindar dari kemungkinan tertular atau menularkan Covid-19. Metode lain yang mulai dirintis ialah penyerahan dalam bentuk daging olahan seperti rendang, dendeng. dan cara lain yang tahan lama," kata Dosen UIN Jakarta tersebut.

Dirinya mengamati selama ini pembagian daging kurban cenderung karikatif dalam relasi atas-bawah'.

"Penerima kurban diperlakukan sebagai peminta-minta yang harus antre berjam-jam di bawah terik matahari Cara pembagian yang karikatif ini menelan korban jiwa. Ini adalah tragedi dan ironisnya, masih terulang," kata Mu'ti.

"Saatnya kita berubah dari tradisi kurban yang komunal dan tidak islami menuju ibadah kurban yang berkeadaban. Kurban adalah momentum untuk menumbuhkan jiwa kemanusiaan dan sifat utama dengan berderma. Di tengah pandemi Covid-19, sedekah kita sangat bermakna, berapa pun jumlahnya," pungkasnya.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas