Perma Bui Seumur Hidup bagi Koruptor Dinilai Mengintervensi Kebebasan Hakim
Merujuk KUHP dan UU Tipikor, hakim memiliki kebebasan menjatuhkan pidana berkaitan jenis pidana, berat ringannya pidana dan cara pelaksanaan pidana
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengintervensi kebebasan hakim seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Hal itu disampaikan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Pujiono ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (3/8/2020).
Baca: Berharap Perma Bui Seumur Hidup untuk Koruptor Hanya Jadi Petunjuk Teknis Hakim
Dalam PerMA tersebut disebutkan, pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor dapat hukuman seumur hidup bila merugikan negara lebih dari Rp 100 miliar.
"Meskipun MA memang memiliki fungsi pengawasan dan pembinaan fungsi yudisial terhadap hakim. Akan tetapi tidak berarti bahwa MA bisa mencampuri urusan pemidaan yang diberikan oleh hakim," ujar Pujiono.
Karena kata dia, berdasar KUHP dan UU Tipikor, hakim memiliki kebebasan menjatuhkan pidana berkaitan jenis pidana, berat ringannya pidana dan cara pelaksanaan pidana.
"Khusus berat ringannya pidana (strafmaat) hakim memiliki kebebasan bergerak dari minimum umum satu hari untuk delik dalam KUHP dan minimum khusus misalnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor 4 tahun dan 1 tahun. Hingga batas maksimum ancaman tindak pidana yang dilakukan," jelasnya.
Perma tersebut selain mengintervensi kebebasan hakim, menurut dia, juga bertentangan dengan UU.
Dia mencontohkan pada penerapan pasal 2 UU Tipikor, pidana yang dijatuhkan berkisar minimal 4 tahun hingga pidana mati, seumur hidup atau maksimal 20 tahun.
Ketentuan ini adalah politik perundang-undangan yang dibuat negara.
Artinya dia menjelaskan, hakim bisa memilih berdasarkan aturan pemidanaan dan rasa keadilannya yang dipertanggungjawabkan langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Karena itu dia menilai, Perma ini bukan cara terbaik untuk mengatasi disparitas pidana.
"Disparitas adalah sebuah kenicayaan. Disparitas yang tidak dapat ditolelir adalah disparitas tanpa pertimbangan yang matang dan tidak transparan," tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, korupsi merupakan kasus yang masih terus terjadi di Indonesia. Hingga kini masih banyak bermunculan kasus korupsi yang terendus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terkait kejahatan ini, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi.