Legislator PKS Pertanyakan Keseriusan Kejagung Tangani Kasus Djoko Tjandra
anggota Komisi III DPR fraksi PKS Nasir Djamil mempertanyakan keseriusan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menangani kasus Djoko Tjandra.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR fraksi PKS Nasir Djamil mempertanyakan keseriusan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menangani kasus Djoko Tjandra.
Padahal, Kejagung seharusnya merupakan lembaga yang aktif mengawasi Djoko Tjandra karena status Djoko sebagai terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali.
Nasir menilai Kejagung terlihat pasif dalam penanganan Djoko Tjandra.
Baca: Polri Terus Dalami Kasus Surat Jalan Palsu Djoko Tjandra yang Libatkan Brigjen Prasetijo
Baca: Terungkap, Djoko Tjandra Miliki Kewarganegaraan Papua Nugini, Miliki Izin Tinggal Tetap di Malaysia
Baca: Penjelasan Lengkap Kejaksaan Agung Mengenai Eksekusi Terpidana Djoko Tjandra
Dia membandingkan dengan langkah Kejagung saat menangkap terpidana kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono.
"Dulu waktu masa Pak Pras (HM Prasetyo), Samadikun (Hartono) seingat saya dulu dijemput. Makanya Pak Pras sendiri datang ke Halim, sekarang kenapa tidak," kata Nasir kepada wartawan, Selasa (4/8/2020)
Menurut Nasir, Kejagung juga tidak pernah membahas detail soal kasus Djoko Tjandra selama rapat dengat pendapat dengan DPR.
Dia juga tidak mengetahui alasan Kejagung tidak melakukan hal tersebut.
"Kami tidak tau juga kenapa. Apa ada komunikasi, apa tidak kita kan tidak tahu," ucapnya.
Nasir menduga ada berbagai penyebab Kejagung pasif dalam menangkap Djoko Tjandra.
Meski tidak membeberkan secara rinci, dia mengatakan hal tersebut dapat digali dari Menkopolhukam Mahfud MD.
"Kita tidak tahu itu dilibatkan dari awal atau tidak, cuma memang betul (terkesan pasif). Dulu memang waktu Samadikun dijemput ada Pak Pras, saya juga bertanya seperti itu, sekarang kok tidak ada unsur jaksa," kata Nasir.
Di sisi lain, Nasir mengakui bahwa polisi memiliki sumber daya dalam menindak pelaku tindak pidana. Sehingga, dia menduga kepolisian paling mobile dalam menangkap Djoko Tjandra.
"Jadi memang yang bisa mobile polisi, menurut saya bisa kita pahami kalau kemudian jaksa atau kejaksaan tidak aktif," ujarnya.
Diketahui, sejak 2014 sebenarnya Kejaksaan Agung telah memiliki kesepakatan dengan Polri dengan pemanfaatan teknologi yang dinamakan I-24/7 namun justru tidak ada upaya riil untuk menangkap Djoko Tjandra.
Bahkan sampai red notice habis keberlakukannya sejak 2019 pun juga tidak segera melakukan perpanjangan, malahan publik justru mengetahui hal tersebut justru ketika Mabes Polri mengirimkan surat ke Imigrasi dan juga ke Kejakasaan Agung.
Dalam perkembangan kasus Djoko Tjandra, Kejaksaan Agung telah menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pegawai yang diduga terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra.
Kejagung mencopot Jaksa Pinangka Sirnamalasari dari jabatan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan, Kejaksaan Agung. Pinangki dicopot dari jabatannya karena diduga bertemu dengan Djoko Tjandra di Malaysia pada 2019 lalu.