Tengku Murphi Nusmir Minta Elite Kejagung Jangan Terpancing Bikin Opini
Murphi menilai, elite Kejagung terpancing dengan berbagai ragam tanggapan atas terbakarnya gedung Kejagung tersebut.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Forum Studi dan Pemerhati Hukum (FSPH) Jurnal Indonesia Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH meminta semua pihak, terutama elite Kejaksaan Agung tidak terpancing dan membuat opini terkait terbakarnya gedung Kejagung, Sabtu (22/8/2020) malam, terutama yang berkaitan dengan kasus Djoko Soegiarto Tjandra.
Murphi menilai, elite Kejagung terpancing dengan berbagai ragam tanggapan atas terbakarnya gedung Kejagung tersebut.
"Tudingan dan kecurigaan masyarakat yang mengaitkan dengan kasus-kasus yang sedang ditangani Kejagung, terutama kasus Djoko Tjandra, sangat lumrah dan manusiawi, karena kasus ini sudah memakan 'korban' beberapa oknum penegak hukum, termasuk oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari yang sekarang sudah menjadi tersangka," kata Tengku Murphi Nusmir dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (25/8/2020).
Spekulasi masyarakat bahwa terbakarnya gedung Kejagung sebagai cara untuk menghilangkan barang bukti, dan upaya penghilangan dugaan ada-tidaknya kasus ini mengarah ke Jaksa Agung, menurut Murphi, elite Kejagung dalam menanggapinya tak perlu reaksioner.
Baca: Meski Diterpa Musibah Kebakaran, Kejagung Lanjutkan Pemeriksaan Kasus Korupsi Jiwasraya
Apalagi terpancing ke soal bukti yang digadang-gadang masyarakat sebagai upaya untuk menutup-nutupi keterlibatan pihak lain yang belum terungkap.
"Kecurigaan masyarakat harus dilihat dalam perspektip hukum, sebagai bentuk kecintaan hukum dan mendorong proses 'law encforcement' (penegakan hukum)," jelasnya.
Murphi melihat Jaksa Agung St Burhanuddin sudah terpancing dan reaksioner atas isu
yang timbul dari masyarakat, seperti berkas perkara dan barang bukti yang ikut terbakar, dan jawaban pihak Kejagung yakni ada bukti cadangan kalau memang rusak atau terbakar.
"Kami sangat menyayangkan ucapan tersebut, oleh karena bukti cadangan dimaksud tidak dikenal dalam KUHAP. Konotasi bukti cadangan membuat orang berkesimpulan bahwa barang bukti bisa digandakan oleh Kejaksaan dalam kasus pidana yang ditanganinya," sesalnya.
Isu lain yang mengemuka, lanjut Murphi, ialah tentang Pinangki pergi keluar negeri menemui terpidana Djoko Tjandra, yang kemudian dikaitkan bahwa Jaksa Agung mengetahui kepergian Pinangki tersebut.
Murphi juga menyoroti pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md saat kebakaran sedang berlangsung, di mana Mahfud menyatakan bahwa seluruh berkas perkara, barang bukti dan tahanan aman atau tidak terbakar.
"Padahal api sedang berkobar melalap gedung Kejagung. Tentu ucapan Mahfud itu prematur dan mendahului penyelidikan yang belum dilakukan. Beliau tidak sadar bahwa dirinya seorang Menko Polhukam. Sangat mengherankan lagi Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam berita menyatakan bahwa kebakaran itu akibat perbuatan 'mafia'. Ucapan elite politik, terutama Bamsoet sangat tidak negarawan," terangnya.
"Kami mengacungkan jempol terhadap pihak Istana yang tidak mengobral opini dan terpancing menanggapi kebakaran gedung Kejagung. Sikap pasif Istana membantu meredakan tensi Isu liar yang berkembang di masyarkat," lanjut Murphi.
FSPH, tegas Murphi, sangat apresiatif kepada Presiden Joko Widodo yang pasif dan tidak berbicara, yang memang seharusnya demikian.
"'Due process of law' (proses hukum menyeluruh) harus segera dilakukan," pintanya.
Impilikasi dari terbakarnya gedung Kejagung, Murphi meminta segera didorong
percepatan berkas perkara penting yang sedang ditangani Kejagung seperti Djoko Tjandra dan kasus Jiwasraya untuk dilimpahkan ke pengadilan, dan digali sebanyak-banyaknya para pihak yang belum terungkap untuk diseret ke pengadilan.
"Apabila pihak Kejagung terkendala, segera libatkan Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) untuk mengambil alih dan melakukan tindakan cepat. Kami melihat
potensi adanya keterlibatan pihak-pihak lain, dan oleh sebab itu usulan agar KPK mengambil alih kasus-kasus tersebut merupakan langkah yang tepat," ujarnya.
Pihaknya khawatir penyidikan kasus Djoko Tjandra dan terseretnya Pinangki, Kejagung terkendala faktor 'esprit de corps' (semangat korps) karena melibatkan oknum jaksa.
"Sehingga menjadikan penyidikan tidak maksimal, dan potensial terlewati pihak-pihak yang diduga terlibat. Alangkah tepatnya jika Presiden Jokowi memerintahkan Jaksa Agung menyerahkan kasus ini ke KPK. Tangkap semua pihak yang terlibat," tandasnya.