RCTI Trending di Twitter Karena Ajukan Gugatan ke MK, Begini Respon Komisi I DPR
Muhammad Farhan meminta semua pihak menghargai keputusan RCTI dan iNews TV mengajukan gugatan.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - RCTI menjadi trending di media sosial Twitter pada Kamis (27/8/2020).
Sebabnya tak lain karena RCTI dan iNews TV mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) perihal UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang tidak mengatur Youtube dan Netflix.
Menanggapi hal itu, anggota Komisi I DPR RI Fraksi NasDem Muhammad Farhan meminta semua pihak menghargai keputusan RCTI dan iNews TV mengajukan gugatan.
"Secara konstitusional kita hargai hak RCTI untuk menggugat. Tapi MK yang akan menentukan apakah memang bisa mengubah isi pasal atau tidak," ujar Farhan, ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (28/8/2020).
Baca: RCTI Trending di Twitter: Isi Gugatan ke MK hingga Pengguna Medsos Terancam Tak Bisa Siaran Live
Menurutnya opini publik yang negatif terhadap gugatan RCTI yang notabene merupakan badan hukum RI ternyata justru menguntungkan bisnis perusahaan over the top (OTT) yang merupakan badan hukum luar negeri.
Oleh karenanya, politikus NasDem tersebut menilai sebaiknya RCTI turut mendukung revisi UU Penyiaran saja.
"Melihat dari permintaan RCTI tersebut, menurut saya lebih baik RCTI ikut mendukung revisi UU Penyiaran yang akan membawa kita ke era digital melalui ASO. Sehingga Lembaga Penyiaran Televisi bisa memasuki era pengembangan konten digital yang luas," kata dia.
Di sisi lain, Farhan mengatakan bangsa Indonesia juga mau tidak mau harus mulai memikirkan filter bagi konten OTT yang banyak melanggar UU Anti Pornografi dan juga merangsang perilaku kekerasan.
Namun, kata dia, berdasarkan pengalaman gugatan di MK selama ini biasanya perubahan isi UU tidak dapat diputuskan oleh MK.
"Mempelajari berbagai gugatan di MK, biasanya perubahan isi UU tidak dapat diputuskan oleh MK. Tetapi harus masuk DPR RI atau Perppu," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, nama RCTI menjadi trending di media sosial Twitter, Kamis (27/8/2020).
Hal ini terkait gugatan yang diajukan oleh RCTI dan iNews TV ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam gugatan itu, RCTI dan iNews TV menggugat UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 lantaran tidak mengatur Youtube dan Netflix. Saat ini, gugatan ini tengah disidangkan di MK.
Jika nantinya gugatan dikabulkan, pengguna media sosial terancam tidak bisa melakukan live atau siaran langsung jika tidak memiliki izin.
Berikut ini fakta tentang gugatan RCTI dan iNews TV ke MK:
1. Mulai Disidangkan di MK pada Bulan Juni lalu
Gugatan RCTI dan Inews TV diajukan ke MK pada bulan Juni lalu.
Dikutip dari laman MK, mkri.id, Kamis (27/8/2020), gugatan diregsitrasi oleh MK pada 9 Juni 2020 lalu dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.
Gugatan itu diajukan oleh PT Visi Citra Mulia (lebih dikenal dengana nama Inews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy sebagai Direktur Utama) dan Rafael Utomo sebagai Direktur.
Sementara RCTI diwakili oleh Jarod Suwahjo sebagai Direktur dan Dini Ariyanti Putri sebagai Direktur. Gugatan ini tengah berproses di MK. Sidang pendahuluan digelar pada 22 Juni lalu.
2. Isi Gugatan
Masih berdasar laman MK, dalam gugatan itu, Inews TV dan RCTI meminta Pasal 1 angka 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali jika mengatur penyiaran melalui internet.
Berikut isi gugatan Inews TV dan RCTI sebagaimana dikutip dari berkas permohonan mereka:
- Menyatakan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempuntyai kekuatan hukum mengikat bersyarat sepanjang tidak dimaknai "dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/ atau kebutuhan dengan perangkat siaran", sehingga Pasal 1 angka 2 UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran selengkapnya berbunyi: "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui saraan pemancaran dan/atau saran transmisi di darat, di laut atau di antaraiksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/ atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran dan/atau kegiatan menyebarluasan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat siaran":
3. Konsekuensi Jika Gugatan Dikabulkan
Jika gugatan RCTI dan iNews TV ini nantinya dikabulkan, pengguna media sosial terancam tidak bisa menggunakan fitur siaran live di platfrom manapun sepanjang pemilik perusahaan penyedia platform tidak mengantongi izin penyiaran.
Dikutip dari Kompas.com, pengetatan aturan siaran live ini bakal diterapkan apabila gugatan uji materi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dikabulkan.
Uji materi itu membahas soal layanan video over the top (OTT) atau layanan yang berjalan di atas internet untuk dimasukkan dalam klasifikasi penyiaran.
Konsekuensinya, jika siaran live di media sosial dikategorikan sebagai penyiaran, maka individu, badan usaha, ataupun badan hukum harus memiliki izin menjadi lembaga penyiaran.
Seperti diketahui, layanan live, seperti Instagram Live, Facebook Live, dan YouTube Live sangat populer di Indonesia. Selain itu, ada juga layanan live gaming, seperti Twitch dan Nimo TV. Penggunaan layanan-layanan ini justru sangat meningkat pada masa pandemi ini.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengatakan, usulan tersebut akan mengubah tatanan industri penyiaran dan mengubah keseluruhan UU Penyiaran.
"Perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, Youtube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin," ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Ahmad M Ramli secara virtual dalam sidang lanjutan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (26/8/2020), seperti dihimpun KompasTekno dari Antara.
"Artinya, kami harus menutup mereka (Google, Facebook, dkk) kalau mereka tidak mengajukan izin," imbuh Ramli.
Itu artinya, perorangan atau badan usaha yang tidak memenuhi persyaratan perizinan penyiaran akan menjadi pelaku penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum karena melakukan penyiaran tanpa izin.
Ramli mengatakan, layanan OTT beragam dan luas, sehingga aturannya cukup kompleks dan tidak hanya dalam satu aturan. Termasuk para pembuat konten siaran lintas batas negara yang tidak mungkin terjangkau dengan hukum Indonesia.
"Mengatur layanan OTT secara ketat juga akan menghadapi tantangan hukum dalam penegakannya karena mayoritas penyedia layanan OTT saat ini berasal dari yurisdiksi di luar Indonesia," ujar Ramli.
Lebih lanjut, Ramli mengatakan bahwa kemajuan teknologi memang menyebabkan terjadinya konvergensi antara telekomunikasi dan media penyiaran.
Ramli juga mengatakan, layanan OTT di Indonesia terus berkembang dan akan menghambat laju ekonomi kreatif dan ekonomi digital apabila gugatan dikabulkan.