M Qodari Rekomendasikan Tunda Pilkada dalam Webinar KSDI
Indobarometer menyarankan agar diatur sanksi tegas bagi calon kepala daerah yang melanggar dan menciptakan kerumunan.
Editor: Hasanudin Aco

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indobarometer merekomendasikan agar DPR merevisi UU Pilkada yang masih mengatur ketentuan kampanye terbuka yang berpotensi adanya kerumunan massa.
Indobarometer juga menyarankan agar diatur sanksi tegas bagi calon kepala daerah yang melanggar dan menciptakan kerumunan.
"Dalam revisi UU Pilkada itu, ditentukan jadwal kedatangan pemilih berdasarkan jam, dan pengaturan jarak pemilih di luar lokasi pemilihan," kata Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari saat menjadi narasumber dalam webinar nasional bertemakan "Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi 1 Tahun Penanganan COVID-19 di Indonesia," pada Sabtu (12/9//2020) malam.
Webinar ini dilaksanakan oleh Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI) dan dihadiri 700-an partsipasan.
Hadir dalam webinar ini berbagai latarbelakang dan profesi. Ada kepala daerah, aktivis, pengusaha, pengacara, artis dan selebiritis, media, musisi, politisi, pegiat seni dan kebudayaan, akademisi dari berbagai kampus, guru dari berbagai sekolah, dan mahasiswa di berbagai daerah dan lain-lain.

Selain Qodari, hadir sebagai narasumber Menko Polhukam Mahfud MD, Wakapolri Komjen Gatot Edy Pramonno dan ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri
Dalam webinar yang dimoderatori Maruarar Sirait ini, Qodari pun merekomendasikan untuk menunda pilkada karena untuk melakukan revisi UU Pilkada dinilai tidak cukup waktu.
Sebab, jika fenomena mudik dilarang karena melibatkan sekitar 10-15 juta orang, perhelatan pilkada melibatkan lebih dari 100 juta orang sehingga didorong untuk ditangani lebih serius.
"Untuk pilkada langsung 9 Desember sebaiknya ditunda karena waktu yang tersedia tidak cukup untuk melaksanakan syarat-syarat ketat sebagai berikut, pertama, masker dibagikan ke seluruh Indonesia. Dua, merevisi UU untuk hapus semua bentuk kampanye dengan kerumunan, kemudian sanksi calon kepala daerah yang membuat kerumunan itu belum ada di UU dengan tegas," ujarnya.
Baca: Komnas HAM Minta Pilkada Serentak 2020 Ditunda
Rekomendasi disampaikan Qodari setelah menjelaskan realitas di lapangan. Qodari memprediksi perhelatan pilkada yang menciptakan kerumunan seperti masa kampanye dan hari-H pencoblosan akan menjadi bom atom warga yang positif COVID-19.
Bahkan ia memprediksi pada Natal dan tahun baru 2021 Indonesia mengalami lonjakan jumlah kasus COVID-19 yang tinggi karena klaster pilkada.
"Mengapa masa kampanye dan pencoblosan, karena pada saat itulah akan terjadi potensi ledakan bom atom kasus COVID-19 di Indonesia. Intinya adalah, apabila tidak diantisipasi, tidak dilakukan perubahan kebijakan, pada Natal dan tahun baru 2020 yang akan datang Indonesia dalam duka karena jumlah pasiennya akan meledak dan kapasitas rumah sakitnya pasti tidak cukup," kata Qodari.

Qodari memprediksi pilkada akan menjadi bom atom lonjakan jumlah kasus COVID-19 pada masa kampanye karena pasangan calon kepala daerah masih diperbolehkan melakukan kampanye rapat umum terbatas.
Ia menyebut, berdasarkan data Bawaslu, pasangan calon sebanyak 734 sehingga calon kepala daerah dikalikan 2 diperkirakan ada 1.468 orang.