Pelibatan 'Jeger' Dalam Penegakan Protokol Kesehatan Bisa Picu Konflik Horizontal
Pemerintah mewacanakan akan melibatkan preman atau 'jeger' dalam mengawasi penerapan protokol kesehatan
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pemerintah mewacanakan akan melibatkan preman atau 'jeger' dalam mengawasi penerapan protokol kesehatan di pasar.
Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono dalam rapat dengan Komisi III DPR, Senin (14/9/2020) menjelaskan, pelibatan preman akan diawasi oleh TNI- Polri.
"Kita menegakkan Perda. Jadi nanti Polri, TNI dengan unsur terkait akan membantu dan mendampingi melaksanakan (penegakan hukum mengenai protokol kesehatan)," kata Gatot dalam rapat.
Gatot mengatakan, pihaknya tidak hanya melibatkan preman, tetapi seluruh komunitas masyarakat yang memiliki pemimpin formal dan informal seperti komunitas perkantoran, hobi, dan pasar.
Baca: 60 Calon Kepala Daerah Positif Covid-19, Ada 243 Pelanggaran Protokol Kesehatan
Pemimpin formal maupun informal itu, kata Gatot, akan diberikan kepercayaan untuk mengingatkan seluruh anggotanya dalam melaksanakan protokol kesehatan Covid-19.
"Di sini, Polri bersama TNI dan Satpol PP itu akan berkoordinasi dan menyampaikan bagaimana kita menerapkan protokol Covid-19 yang benar," ujar dia seperti dikutip Kompas.com.
Baca: Vennard Hutabarat: PSBB Teguran Bagi Masyarakat DKI Jakarta Agar Perhatikan Protokol Kesehatan
Gatot mengakui, khusus pasar tradisional, aparat kesulitan untuk mengawasi apakah pedagang dan pembeli menerapkan protokol kesehatan.
Terlebih, tidak ada pimpinan formal di pasar. Oleh karena itu, pihaknya bekerja sama dengan preman pasar dalam artian membangun kesadaran masyarakat untuk menaati protokol kesehatan.
"Mereka (jeger) ini kan setiap hari di sana. Bukan kita merekrut, tapi kita merangkul mereka pimpinan informal yang ada di komunitas untuk bersama membangun kesadaran kolektif agar menaati protokol Covid-19," ucap Gatot.
"Contohnya ada yang tidak pakai masker mereka 'ayo pakai masker', yang tidak jaga jarak, 'ayo harus jaga jarak'," kata dia.
Pernyataan Wakapolri ini sempat menimbulkan reaksi dan kritik dari masyarakat. Bahkan, ada yang meminta Polri membatalkan rencana tersebut.
Baca: Ganjar Pranowo Minta 9 Daerah di Jawa Tengah Perketat Protokol Kesehatan, Mana Saja?
Bertentangan dengan pemberantasan premanisme
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai, pelibatan preman pasar dalam pengawasan protokol kesehatan bertentangan dengan upaya pemberantasan premanisme.
"Kalau benar yang dimaksud Wakapolri 'jeger-jeger' itu adalah preman-preman pasar, sepertinya pandemi Covid-19 ini membuat Wakapolri sesat pikir," ujar Bambang saat dihubungi Kompas.com, Jumat (11/9/2020).
"Ini bertolak belakang dengan upaya pemberantasan premanisme," ucap Bambang.
Menurut Bambang, Polri bisa bekerja sama dengan Satpol PP dan Satuan Pengamanan (Satpam) selaku pihak Pemda.
"Kalau Wakapolri paham, harusnya lebih mengutamakan komponen-komponen yang sudah berada dalam binaannya. Bukan malah memberdayakan preman," ujarnya.
Bambang berpendapat, masih ada cara lain yang dapat dilakukan Polri, jika masyarakat di pasar tak mentaati protokol kesehatan yaitu dengan menindak tegas penanggungjawab pasar.
Bahkan, opsi terburuk menutup pasar tersebut.
"Hal-hal semacam inilah yang harus jadi fokus kepolisian," ucap dia.
Potensi kekerasan
Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengakui keberadaan pemimpin informal di pasar akan berpengaruh agar masyarakat menaati protokol kesehatan.
Namun, Polri tetap harus mewaspadai potensi kekerasan jika teguran atau imbauan pemimpin informal pasar seperti preman tidak diterima dengan baik.
"Potensi abusive melalui teguran dan tindakan, misalnya nada suara tinggi atau membentak, atau misalnya jika ada orang yang ngeyel tidak mau pakai masker akan terjadi adu fisik," kata Poengky.
Berdasarkan hal tersebut, Poengky mendukung agar kerja sama dengan "jeger pasar" harus didampingi TNI-Polri.
"Oleh karena itu harus selalu didampingi aparat kepolisian, misalnya Bhabinkamtibmas yang bertugas di pasar, yang memahami dan mengenal medan," tutur dia.
Picu konflik horizontal
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti meminta Kapolri Jenderal Idham Azis membatalkan pelibatan preman dalam penegakan protokol kesehatan.
Fatia menilai, wacana tersebut justru menunjukkan kegagalan polisi dalam melakukan tugas-tugas pengamanan dan penegakkan hukum sesuai aturan yang ada.
"Kami khawatir kebijakan ini justru akan memicu munculnya konflik horizontal akibat adanya kelompok masyarakat tertentu yang merasa mendapat legitimasi dari kepolisian untuk melakukan fungsi-fungsi penegakan peraturan kepada masyarakat," kata Fatia dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/9/2020).
Fatia mengatakan, selama ini polisi dinilai paling dominan dalam melakukan perlakuan yang tidak manusiawi kepada masyarakat.
Dengan rekam jejak tersebut, ia mengatakan, tidak ada jaminan polisi akan mengawasi secara ketat preman di pasar.
Fatia khawatir adanya potensi pembiaran terhadap tindakan penertiban dengan kekerasan yang dilakukan oleh preman pasar atau unsur masyarakat lainnya.
"Kami melihat berbagai pilihan kebijakan dan tindakan tersebut bukan merupakan kebijakan yang didasari dengan data saintifik, melainkan menunjukkan pola pendekatan keamanan yang menghasilkan berbagai bentuk pelanggaran HAM," ujarnya. (Haryanti Puspa Sari)
Artikel ini telah ditayangkan Kompas.com dengan judul: Potensi Kekerasan dan Konflik Terkait Rencana Pelibatan "Jeger" dalam Penegakan Protokol Kesehatan