Hasto: Atasi Potensi Konflik Pilkada, Harus Kembali ke Semangat Pendirian Indonesia
Hal itu terungkap dalam webinar Unhan dalam rangka puncak perayaan Hari Perdamaian Dunia, Senin (21/9/2020).
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Potensi konflik pemilihan umum, termasuk dalam pilkada serentak 2020, ternyata bersumber dari perubahan sistem demokrasi Indonesia yang didorong menjadi lebih liberal pasca amandemen UUD 1945 yang dipengaruhi oleh sejumlah lembaga internasional saat itu.
Penerima beasiswa doktoral Universitas Pertahanan (Unhan) Indonesia, Hasto Kristiyanto, mengusulkan sejumlah langkah yang utamanya mendorong kembali ke semangat dasar pendirian NKRI, termasuk nilai-nilai Pancasila.
Hal itu terungkap dalam webinar Unhan dalam rangka puncak perayaan Hari Perdamaian Dunia, Senin (21/9/2020).
Pembicaranya adalah mahasiswa program doktor Unhan yang juga Sekjen DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, anggota Bawaslu Mochammad Afifudin, dan Peneliti LIPI Dr. Adriana Elisabeth.
Dalam paparannya, Hasto mengutip buku karya Dennis W. Jhonson, dkk. berjudul Handbook of Political Management, yang salah satunya memotret Krisis Ekonomi 1997/1998 melahirkan skenario politik global melalui proses liberalisasi politik global.
Di Indonesia sendiri saat itu kedaulatan politik ekonomi Indonesia dikontrol melalui Letter of Intent (LOI) dengan International Monetary Fund (IMF) saat itu.
Baca: Menhan Prabowo Buka Pendidikan Mahasiswa Baru Program Sarjana, Magister, dan Doktoral Unhan TA 2020
Maka di Indonesia, terjadi global reproduction of American Politic, melalui liberalisasi politik dan ekonomi pasca krisis moneter tahun 1997. Proses ini berlanjut hingga ke perubahan UUD 1945 yang merubah sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk sistem politiknya.
Jika di sistem sebelumnya Indonesia memiliki Haluan Negara yang dibentuk berdasarkan aspirasi seluruh perwakilan rakyat, melalui DPR, Utusan Daerah, hingga Utusan Golongan di MPR, di sistem baru itu digantikan dalam praktek demokrasi liberal tersebut.
Masalahnya, demokrasi langsung ala Amerika itu ternyata memiliki sisi negatif. Yakni kapitalisasi kekuasaan politik dimana pemilik modal/pebisnis bisa mempengaruhi karena nature demokrasi langsung memang mahal sehingga memberi peluang lebih besar bagi orang atau kelompok kaya, dan lahirlah interest group.
Lalu terjadi konvergensi antara politik-hukum-pemilik kapital-media. Terjadi juga penguatan primordialisme, hingga konflik Pancasila dengan ideologi transnasional.
"Pilkada dalam praktek, menyempitkan pemikiran para pendiri bangsa yang visioner dan penuh dengan gambaran ideal tentang Indonesia Raya. Misalnya dulu kita bermimpi, Bupati Klaten bisa diisi oleh orang Papua, bagaimana gubernur dari Jakarta bisa diisi oleh orang Sumatera Barat, misalnya. Karena setiap warga negara adalah sama. Tetapi dengan pelaksanaan Pilkada secara langsung itu terjadi penyempitan," kata Hasto.
"Kini orang berpikir untuk memilih pemimpin, harus sama sukunya, harus sama agamanya, sama keluarga besarnya. Tidak lagi dilihat bagaimana kompetensi menyelesaikan masalah rakyat di dalam membawa tanggung jawab masa depan, di dalam membawa sesuatu yang hadir dalam bentuk kebijakan," tambahnya.
Memang ada berbagai regulasi yang dikeluarkan untuk mencegah konflik atau menghukum pelanggar aturan. Namun, hingga saat ini, potensi konflik dalam ajang pemilu tetap hadir dalam wujud berbagai hal.
Yakni munculnya analogi bahwa pemilu sebagai sebuah perang atau perang badar. Apalagi sampai membawa agama di dalam Pilkada sebagai dalil semangat bagi para pendukung.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.