Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Anggota Komisi XI: Revisi UU BI Belum Mendesak

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI saat ini tengah membahas Rancangan Undang-undang untuk merevisi Undang Undang Bank Indonesia (UU BI).

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Sanusi
zoom-in Anggota Komisi XI: Revisi UU BI Belum Mendesak
Bank Indonesia 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI saat ini tengah membahas Rancangan Undang-undang untuk merevisi Undang Undang Bank Indonesia (UU BI).

Menanggapi hal itu, anggota komisi XI DPR RI Fraksi PKS Anis Byarwati mengatakan revisi UU BI tersebut tidaklah mendesak untuk saat ini.

"Saya memandang pembahasan revisi undang-undang BI saat ini tidak mendesak," ujar Anis, kepada wartawan, Selasa (22/9/2020).

Baca: Ini Kata Gubernur Bank Indonesia soal Rencana Revisi UU BI

Anis mengungkap secara prinsip amandemen UU BI sesungguhnya sudah dilakukan pada saat keluarnya Perppu No.1 tahun 2020 yang menjadi UU no.2 tahun 2020.

Bahkan UU no 2 tahun 2020 tidak hanya mengamandemen UU BI, tapi juga mengamandemen UU yang terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

"Dan Perppu ini telah memberikan ruang yang sangat longgar kepada pemerintah untuk menangani krisis keuangan akibat pandemi Covid-19," kata dia.

Berita Rekomendasi

Anis menilai sikap pemerintah yang tidak fokus dalam penanganan Covid-19 justru akan menjadikan krisis keuangan berkepanjangan.

Meski melihat tupoksi BI sudah cukup baik dan memiliki independensi yang memungkinkan BI menjalankan kewenangannya mengambil kebijakan-kebijakan tanpa intervensi dari pihak manapun termasuk intervensi dari pemerintah. Namun, dia mengkhawatirkan ada perubahan yang dapat berdampak negatif jika membaca perubahan yang diinginkan dalam rencana revisi UU BI.

Beberapa poin perubahan dalam RUU BI yang disorotinya adalah penambahan fungsi BI. Selain untuk menjaga stabilitas rupiah, BI juga dibebankan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan pekerjaan.

Selain itu, fungsi pengawasan dikembalikan dari OJK kepada BI. Poin lainnya yakni pembentukan dewan moneter yang mendapatkan banyak sorotan dari para ekonom. Kemudian, terdapat poin yang memungkinkan campur tangan pemerintah yang lebih banyak dalam pengambilan kebijakan moneter yang selama ini dilakukan secara independent oleh BI.

Ada juga poin yang memberikan hak suara kepada pemerintah dalam penentuan Dewan Gubernur dan poin dimana BI semakin bebas membeli surat utang negara, dan yang lainnya.

"Jika diperhatikan, RUU ini akan menabrak beberapa UU yang sudah ada sebelumnya," tegas Anis.

Menurutnya yang dibutuhkan saat ini bukanlah perubahan undang-undang, melainkan efektivitas program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang telah dikeluarkan pemerintah. Pun dengan skema burden sharing (berbagi beban) dimana pemerintah dan BI berbagi beban dalam melaksanakan penanganan Covid-19 dan PEN.

"Di dalam penerapan burden sharing, bebannya banyak diberikan kepada BI yaitu sebesar 53 persen dari beban utang. Jadi dalam pandangan kami, optimalisasi program PEN inilah yang dibutuhkan," ungkapnya.

Sementara terkait pembentukan dewan moneter yang menjadi salah satu poin dalam RUU BI, Anis menegaskan pembentukan dewan moneter menandakan bahwa pemerintah Indonesia tidak belajar dari krisis sebelumnya.

Menurutnya krisis moneter/keuangan 1997/1998 memberi pelajaran bahwa Indonesia menjadi negara yang paling terdampak, baik dari sisi biaya pemulihan maupun sosial. Biaya pemulihan krisis sekitar 40 persen dari PDB saat ini dan untuk bangkit Indonesia memerlukan sekitar 10 tahun.

Saat itu Indonesia mengalami masalah ekonomi multi dimensi termasuk defisit neraca berjalan yang cukup besar dan depresiasi nilai tukar. Meningkatnya ketidakpastian menyebabkan arus modal keluar, diikuti dengan masalah likuiditas di banyak bank.

Sebagai lender of last resort, Bank Indonesia menyediakan pinjaman likuiditas untuk bank, namun, hal ini menyebabkan peningkatan suplai uang dan memacu hiperinflasi. Salah satu faktor pendukung terjadinya krisis di tahun 1997/1998 adalah karena bank sentral tidak independen.

"Kita khawatir dengan dikembalikannya dewan moneter, kita akan terjerumus Kembali kepada krisis yang sama," kata dia.

Oleh karena itu, Anis lebih mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan peran dan kinerja KSSK. Pemerintah telah memiliki KSSK yang didalamnya ada Menkeu, Gubernur BI, Ketua DK OJK dan ketua DK LPS. "Fungsi KSSK bisa dioptimalkan untuk meraih pertumbuhan ekonomi yang lebih baik," tandasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas