Legislator PKS: Negara Bisa Kolaps akibat Setengah Lebih Sumber Pendanaan APBN Berasal dari Utang
Sukamta menjelaskan utang yang besar pemerintahan Jokowi terkait dengan kebutuhan belanja yang besar terutama sektor infrastruktur senilai 415 triliun
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua fraksi PKS Sukamta mengatakan, pemerintah saat ini bisa dikatakan dalam keadaan sekarat akibat setengah lebih sumber pendanaan APBN berasal dari utang.
Menurutnya, jika kondisi ini tidak dikelola dengan baik bisa menyebabkan negara kolaps.
Pernyataannya itu disampaikan menanggapi jumlah utang pemerintah yang semakin melambung di tengah pandemi Covid-19.
Ia menilai kondisi ini semakin berat karena hingga Juni 2020 penerimaan negara baru mencapai Rp 811,2 dari target pendapatan negara setelah yang telah direvisi akibat pandemi Covid-19 sebesar Rp 1.760,9 triliun.
Padahal pada sisi lain, perkiraan belanja negara membengkak mencapai Rp 2.233,2 triliun.
"Gali lubang tutup lubang seakan jadi satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menyambung nyawa APBN. Dari tahun ke tahun pemerintah terus menambah utang dengan alokasi utang dipergunakan untuk membiayai belanja negara dan sebagian lagi untuk membayar utang beserta bunganya," kata Sukamta melalui keterangannya, Selasa (22/9/2020).
Baca: Debat Soal Utang Negara, Jubir Luhut: Jangan Dibawa ke Urusan Politik, Kita Lelah
Menurut Sukamta jika utang terus menumpuk, bisa jadi akan ada yang menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Utang Indonesia, hal ini merujuk pada jumlah utang yang dibuat selama dirinya memimpin enam tahun.
"Sejak dilantik di bulan Oktober tahun 2014 hingga Juli 2020 Presiden Jokowi menambah utang pemerintah sebesar Rp 2.833,14 triliun sehingga jumlah utang hingga akhir Juli 2020 tercatat Rp 5.434,86 triliun. Jumlah ini meningkat drastis melampaui utang-utang periode presiden sebelumnya dari masa Soeharto hingga SBY yang totalnya hanya Rp 2.601,72 triliun. Yang jadi persolaan, penambahan jumlah utang yang sangat besar ini hanya berdampak minimalis terhadap pertumbuhan ekonomi yang stagnan di kisaran rata-rata 5 persen setiap tahunnya," ucapnya.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini kemudian merinci mengenai pergerakan utang pemerintah sejak Presiden Jokowi memimpin.
"Jika dihitung satu tahun penuh, pada akhir tahun 2015 ada tambahan utang Rp 557 triliun dibanding akhir tahun 2014, kemudian selama tahun 2016 bertambah Rp 301 triliun, tahun 2017 bertambah Rp 472 triliun, tahun 2018 bertambah Rp 480 triliun, dan hingga akhir tahun 2019 bertambah 152 triliun," ucapnya.
"Jika diperbandingkan antara akhir Juni 2020 dengan akhir Juni 2019 (yoy), tercatat ada penambahan hutang 694 triliun. Kondisi ini telah meningkatkan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) meningkat, dari tahun 2014 sebesar 24,7 persen saat ini mencapai 34,5 persen. Ini tentu angka-angka yang patut diwaspadai meski masih di bawah batas maksimum rasio utang terhadap PDB sebesar 60 persen yang diatur di Undang-undang Keuangan Negara," imbuhnya.
Baca: Pemerintah Lelang Lagi Surat Utang Negara Rp 16,6 Triliun, Tapi Hasilnya di Bawah Target
Sukamta menjelaskan utang yang besar pemerintahan Jokowi terkait dengan kebutuhan belanja yang besar terutama sektor infrastruktur yang pada tahun 2019 senilai 415 triliun.
"Proyek infrastruktur masa Presiden Jokowi sebagian besar dibiayai dari utang. Yang jadi persoalan, utang untuk pembangunan infrastruktur ini tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi akibat tidak tumbuhnya investasi di sektor produktif. Padahal pemerintah berharap dengan membangun infrastruktur ekonomi akan tumbuh signifikan," ucapnya.
Sukamta mengingatkan dan memberi saran, pemerintah Indonesia akan bangkrut terlilit utang jika terus menerus menambah utang namun gagal mencari sumber pendapatan baru di luar utang.
"Resesi ekonomi akibat Covid-19 akan menekan pendapatan negara dari pajak, maka pemerintah harus kreatif mencari sumber-sumber lain dan di sisi lain mengencangkan ikat pinggang untuk pengeluaran yang sangat perlu dengan memangkas lagi APBN," ujarnya.