Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Lima Catatan ICW atas Sanksi Ringan Ketua KPK Firli Bahuri

ICW memberikan lima catatan atas putusan Dewan Pengawas yang menjatuhkan sanksi ringan kepada Ketua KPK.

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Lima Catatan ICW atas Sanksi Ringan Ketua KPK Firli Bahuri
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ketua KPK Firli Bahuri menjalani sidang etik dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (24/9/2020). Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) memberikan hukuman ringan yakni sanksi berupa teguran tertulis 2 terhadap Ketua KPK Firli Bahuri terkait pelanggaran kode etik. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut kualitas penegakan kode etik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) layak dipertanyakan.

Hal ini terkait Putusan Dewan Pengawas KPK hari ini yang telah menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis II kepada Ketua KPK Firli Bahuri dalam kasus penggunaan helikopter mewah.

"Mengingat secara kasat mata tindakan Firli Bahuri yang menggunakan moda transportasi mewah itu semestinya telah memasuki unsur untuk dapat diberikan sanksi berat berupa rekomendasi agar mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Kamis (24/9/2020).

Kurnia mengatakan, ICW memberikan lima catatan atas putusan Dewan Pengawas yang menjatuhkan sanksi ringan kepada Ketua KPK.

Pertama, alasan Dewan Pengawas yang menyebutkan Firli tidak menyadari pelanggaran yang telah dilakukan sangat tidak masuk akal.

Baca: MAKI Apresiasi Dewas Vonis Bersalah Ketua KPK Firli Bahuri

Menurut Kurnia, sebagai Ketua KPK, semestinya yang bersangkutan memahami dan mengimplementasikan Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.

Apalagi, lanjut Kurnia, tindakan Firli juga bersebrangan dengan nilai integritas yang selama ini sering dikampanyekan oleh KPK, salah satunya tentang hidup sederhana.

Berita Rekomendasi

Kedua, lanjut Kurnia, Dewan Pengawas tidak menimbang sama sekali pelanggaran etik Firli saat menjabat sebagai Deputi Penindakan.

Penting untuk ditegaskan, ICW pada tahun 2018 melaporkan Firli ke Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat atas dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang sedang berperkara di KPK.

"Berdasarkan laporan tersebut, pada September tahun 2019 yang lalu KPK mengumumkan bahwa Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik, bahkan saat itu dijatuhkan sanksi pelanggaran berat. Sementara dalam putusan terbaru, Dewan Pengawas menyebutkan bahwa Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik," papar Kurnia.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana (tangkapan layar kanal YouTube Kompastv)

Ketiga, Dewan Pengawas abai dalam melihat bahwa tindakan Firli saat mengendarai moda transportasi mewah sebagai rangkaian atas berbagai kontroversi yang sempat dilakukan.

"Mulai dari tidak melindungi pegawai saat diduga disekap ketika ingin melakukan penangkapan sampai pada pengembalian ‘paksa’ Kompol Rossa Purbo Bekti. Sehingga, pemeriksaan oleh Dewan Pengawas tidak menggunakan spektrum yang lebih luas dan komprehensif," katanya.


Keempat, putusan Dewan Pengawas terhadap Firli sulit untuk mengangkat reputasi KPK yang kian terpuruk.

Sebab, ucap Kurnia, sanksi ringan itu bukan tidak mungkin akan jadi preseden bagi pegawai atau pimpinan KPK lainnya atas pelanggaran sejenis.

"Jika dilihat ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020, praktis tidak ada konsekuensi apapun atas sanksi ringan, hanya tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, tugas belajar atau pelatihan, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar negeri," terang Kurnia.

Kelima, lemahnya peran Dewas dalam mengawasi etika Pimpinan dan pegawai KPK.

Kurnia menjelaskan, dalam kasus Firli, Dewas semestinya dapat mendalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter tersebut.

"Dalam putusan atas Firli Bahuri, Dewas tidak menyebutkan dengan terang apakah Firli sebagai terlapor membayar jasa helikopter itu dari uang sendiri atau sebagai bagian dari gratifikasi yang diterimanya sebagai pejabat negara. Dewas berhenti pada pembuktian, bahwa menaiki helikopter merupakan bagian dari pelanggaran etika hidup sederhana," kata Kurnia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas