Sejarawan: Ada Peristiwa G30S dan Pembunuhan Massal Setelah Itu di Tahun 1965
Setelah itu peristiwa G30S, terjadi pembersihan PKI dengan penahanan dan pembunuhan massal atau penghilangan paksa di banyak daerah.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Berbicara mengenai 1965 tidak bisa hanya berhenti pada peristiwa dini hari 1 Oktober 1965 yang disebut dengan Gerakan 30 September (G30S).
Sejarawan University of British Columbia (UBC), Kanada, John Roosa mengatakan, peristiwa mengikuti setelah G30S terjadi harus juga dilihat dalam rangkaian tahun 1965.
Dua peristiwa itu sama-sama menunjukkan kekerasan terhadap kemanusian. Pada saat G30S, terjadi kekerasan menyebabkan kematian 7 perwira tinggi TNI-AD yang kemudian dianugerahi gelar pahlawan revolusi dan pahlawan nasional. Partai Komunis Indonesia (PKI) disebut-sebut sebagai dalang dari tragedi berdarah ini.
Setelah itu peristiwa G30S, terjadi pembersihan PKI dengan penahanan dan pembunuhan massal atau penghilangan paksa di banyak daerah.
"Kalau kita bicara isu 1965 Ada banyak yang terjadi. Ada G30S. Ada pembunuhan massal setelah itu, ada penahanan massal Meskipun harus melihatnya dalam dua peristiwa tersendiri," ujar penulis Buku 'Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008)' ini dalam Dialog Sejarah, "1965: Sejarah yang Dikubur" seperti disiarkan di Channel Youtube Historia.id, Selasa (29/9/2020).
Dia menjelaskan, kasus-kasus kekerasan yang terjadi sepanjang tahun 1965 tidaklah normal bagi mereka yang hidup saat itu, baik sebagai pelaku maupun korban.
Dia menilai, sebenarnya untuk pembersihan PKI tidak perlu dilakukan dengan Pembunuhan atau penghilangan paksa jutaan orang yang dianggap atau dekat dengan PKI.
"Sebenatnya cukup penahanan terhadap mereka, seperti dilakukan di Jawa Barat. Tapi yang terjadi penghilangan paksa orang yang sudah ditahan, sudah tidak berdaya lagi, diambil dari penjara atau kamp penahanan, dinaikkan ke truk, dibawa ke tempat lain yang biasanya tempat yang agak sepi di hutan, di tepi sungai, terus dibunuh di situ," paparnya.
"Ini sengaja dibuat supaya orang tidak bisa ingat, karena tidak banyak ada saksi akan penghilangan paksa itu. Pelakunya juga tidak mau bicara terus terang. Korbannya juga sudah tidak ada lagi," jelasnya.
Baca: Besok 30 September, Adakah Nobar G30S/PKI ? Kata Polisi hingga Mahfud MD Nonton Via YouTube
Karena itu dia mengatakan pada tahun 1965, khususnya setelah G30S, banyak terjadi pembunuhan yang keji untuk menghilangkan orang, supaya keluarganya tidak mengetahui.
Pola demikian, kata dia, umum terjadi saat itu, seperti ditemukan di sejumlah daerah di antaranya Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Lombok, dan Flores.
"Itu pola umum dan banyak memakan korban. Itu lebih gampang membunuh tahanan," ucapnya.
Selain itu imbuh dia, propaganda-propaganda yang dilakukan militer terus diluncurkan dalam operasi pembersihan PKI saat itu--yang memberikan narasi pembenaran terhadap aksi kekerasan melalui penghilangan paksa itu.
Apalagi saat itu semua media massa dibungkam, tidak ada kebebasan pers untuk bersuara berbeda dengan propaganda-propaganda yang didengungkan oleh militer saat itu.(*)
Bolehkah Nonton Film G30S PKI?
Kini menjelang akhir September, ajakan untuk menggelar acara nonton bareng film G30S/PKI kembali menyeruak.
Biasanya, tak ada masalah bagi siapapun yang ingin menggelar acara nonton bareng film tersebut.
Namun tahun ini kondisinya berbeda, Indonesia saat ini masih menghadapi pandemi Covid-19.
Lantaran kondisi tersebut, Polri meminta agar warga tidak berkumpul atau berkerumun, terlebih mengadakan acara yang berpotensi mengumpulkan banyak orang, termasuk menggelar acara nonton bareng film G30S/PKI.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono memastikan Polri tidak akan mengeluarkan izin keramaian untuk acara apa pun, termasuk nobar film G30S/PKI.
”Yang jelas Polri tidak akan mengeluarkan izin keramaian. Ingat, keselamatan jiwa masyarakat itu yang pertama, dan ini masih dalam pandemi Covid-19,” kata Awi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (28/9).
Awi mengimbau masyarakat yang ingin menonton film tersebut untuk menonton secara perorangan. Bisa di rumah atau di mana pun yang tak mengundang keramaian atau kerumunan.
”Sekali lagi Polri tidak akan mengeluarkan izin untuk keramaian, kalau mau nonton, silakan nonton masing-masing," kata Awi.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang tanggal 30 September, film drama dokumenter penumpasan pengkhianatan G30S/PKI karya sutradara Arifin C Noer selalu menjadi pembicaraan masyarakat.
Tahun ini pun pemutaran film tersebut kembali menimbulkan pro kontra, salah satunya muncul lantaran pernyataan mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo.
Dalam sebuah wawancara, Gatot yang kini bergabung dalam organisasi masyarakat KAMI menyebut bahwa dirinya dicopot sebagai Panglima TNI pada tahun 2017 lantaran bersikukuh menginstruksikan seluruh jajaran TNI memutar atau menonton film G30S/PKI.
"Saat itu saya punya sahabat dari salah satu partai, saya sebut saja PDIP. Dia bilang 'Pak Gatot hentikan itu (perintah nonton film G30S/PKI). Kalau tidak, pasti Pak Gatot akan diganti'. Saya bilang terima kasih, justru saya gas karena ini adalah benar-benar berbahaya. Dan benar-benar saya diganti," kata Gatot di akun channel Youtube Hersubeno Arief.
Gatot menyebut kemungkinan bangkitnya PKI di Indonesia bukan hal yang tidak mungkin.
Karena itu, ia kembali meminta Presiden Jokowi menyerukan film itu diputar di lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga penyiaran publik, khususnya TVRI.
Sejumlah kelompok mendukung usulan Gatot itu. Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) yang tergabung dalam Aliansi Nasional Anti-Komunis (ANAK) NKRI bahkan tetap berencana menyelenggarakan nonton bareng film G30SPKI pada 30 September 2020 malam.
Ketua PA 212, Slamet Maarif mengatakan, nonton bareng film G30SPKI akan dilakukan di masjid atau musala di wilayah masing-masing.
Tujuannya mengingatkan bahaya ideologi komunis masih mengancam Indonesia.
Sementara Menko Polhukam Mahfud MD melalui akun Twitter-nya mengatakan pemerintah tidak pernah melarang maupun mewajibkan menonton film tersebut.
"Pemerintah tidak 'melarang' atau pun 'mewajibkan' untuk nonton film G30S/PKI tersebut. Kalau pakai istilah hukum Islam 'mubah'. Silakan saja," tulis Mahfud dalam akun @mohmahfudmd, Minggu (27/9).
Mahfud mempersilakan bagi stasiun televisi yang ingin menayangkan ulang film tersebut. "Untuk TV-TV (termasuk TVRI) mau tayang atau tidak, juga tergantung kontraknya dengan pemegang hak siar sesuai pertimbangan rating dan iklannya sendiri-sendiri," kata Mahfud.
Menurut Mahfud, film G30S/PKI tidak perlu dipermasalahkan.
Kalau pun tidak diputar di televisi saat ini masyarakat bisa mengaksesnya melalui platform digital lainnya.
"Mengapa soal pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI diributkan? Tidak ada yang melarang nonton atau menayangkan di TV. Mau nonton di Youtube juga bisa kapan. saja, tak usah nunggu Bulan September. Semalam saya nonton lagi di Youtube," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, keputusan pemerintah tidak mewajibkan atau melarang pemutaran film G30S/PKI sama seperti kebijakan yang diambil era Presiden Habibie.
Saat itu Menteri Penerangan Yunus Yosfiah juga tidak melarang atau mewajibkan pemutaran film tersebut. "Dulu Menpen Yunus Yosfiyah juga tak melarang, tapi tidak mewajibkan," kata Mahfud. (tribun network/igm/dod)
Artikel tambahan diambil dari Tribunnews.com