Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengurangan Hukuman Koruptor Dikritik karena Tidak Memberikan Efek Jera, Ini Penjelasan MA

Pengurangan hukuman untuk koruptor banjir kritikan karena dinilai tidak memberikan efek jera, ini penjelasan MA.

Penulis: Inza Maliana
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
zoom-in Pengurangan Hukuman Koruptor Dikritik karena Tidak Memberikan Efek Jera, Ini Penjelasan MA
Istimewa
Ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM - Pengurangan hukuman bagi terpidana kasus korupsi dalam putusan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) banjir kritikan.

Putusan tersebut dinilai meruntuhkan rasa keadilan bagi masyarakat.

Bahkan dianggap tidak akan memberikan efek jera bagi koruptor.

Adapun dalam putusan terbaru, MA mengabulkan PK yang diajukan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.

MA mengurangi hukumannya dari 14 tahun penjara pada tingkat kasasi menjadi 8 tahun penjara.

Peneliti lembaga Indonesian Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana di kantornya, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (20/1/2020).
Peneliti lembaga Indonesian Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana di kantornya, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (20/1/2020). (Tribunnews.com/ Lusius Genik)

Baca: KPK Ungkap Daftar Koruptor yang Ajukan PK, Ada 37 Orang

Baca: KPK Prihatin MA Kerap Potong Hukuman Koruptor, Jubir MA: Itu Independensi Hakim

"Putusan demi putusan PK yang dijatuhkan Mahkamah Agung, di antaranya Anas Urbaningrum."

"Itu sudah terang benderang telah meruntuhkan sekaligus mengubur rasa keadilan masyarakat."

Berita Rekomendasi

"Sebab masyarakat pihak yang paling terdampak praktik korupsi," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana pada Kamis (1/10/2020), dikutip dari Kompas.com.

Kurnia menuturkan, sejak awal pihaknya sudah mempertanyakan keberpihakan lembaga kehakiman dalam upaya pemberantasan korupsi ini.

Pasalnya, berdasarkan catatan ICW mengenai tren vonis koruptor tahun 2019 menunjukkan rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara.

Terpidana kasus korupsi Pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang Anas Urbaningrum mengikuti sidang lanjutan pengajuan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (29/6/2018). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan ahli dari ahli hukum administrasi negara FHUI, Dian Puji Simatupang. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Terpidana kasus korupsi Pembangunan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang Anas Urbaningrum mengikuti sidang lanjutan pengajuan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (29/6/2018). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan ahli dari ahli hukum administrasi negara FHUI, Dian Puji Simatupang. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Baca: MA Sunat Lagi Hukuman Koruptor, KPK Khawatir Publik Curiga

Baca: KPK Harap MA Berikan Argumen Jelas soal Penyunatan Masa Hukuman Koruptor

"Jadi, bagaimana Indonesia bisa bebas dari korupsi jika lembaga kekuasaan kehakiman saja masih menghukum ringan para koruptor?" ujar Kurnia.

Menurut Kurnia, hukuman ringan bagi para koruptor memiliki dua implikasi.

Yakni pemberian efek jera yang semakin jauh dan kinerja penegak hukum yang menjadi sia-sia.

Oleh sebab itu, ICW meminta Ketua Mahkamah Agung mengevaluasi penempatan hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan kepada koruptor.

ICW juga menyarankan agar KPK mengawasi persidangan PK di masa mendatang.

Penjelasan MA soal pengurangan hukuman koruptor

Pihak Mahkamah Agung menjawab kritikan sejumlah pihak terkait pemotongan hukuman bagi terpidana koruptor setelah peninjauan kembali (PK) yang mereka ajukan dikabulkan oleh MA.

Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro menegaskan, permohonan PK yang dikabulkan MA merupakan koreksi atas kekeliruan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

"Bukan tidak mungkin dalam putusan tersebut terdapat kesalahan atau kekeliruan yang merupakan kodrat manusia."

"Termasuk hakim yang memeriksa dan memutus perkara," kata Andi, Kamis (1/10/2020), masih dari Kompas.com.

Vila mewah milik tersangka korupsi mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) di Puncak Bogor disambangi tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (7/8/2020).
Vila mewah milik tersangka korupsi mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) di Puncak Bogor disambangi tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (7/8/2020). (TribunnewsBogor.com/Naufal Fauzy)

Baca: Jumlah Perkara pada 2020 Cenderung Meningkat, MA Perketat Protokol Kesehatan

Baca: MA Korting Hukuman Anas Urbaningrum, Pimpinan DPR: Mari Kita Hormati

Ia menjelaskan, ada tiga alasan yang dapat menjadi dasar terpidana atau ahli warisnya mengajukan PK.

Yaitu adanya novum atau bukti baru, ada pertentangan dalam putusan atau antarputusan, serta ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.

Andi mengatakan, jika alasan tersebut cukup beralasan dan terbukti, tentu MA dapat mengabulkan PK yang diajukan.

Ia menambahkan, setiap putusan hakim pun wajib mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

Hal inilah yang juga sering dijadikan perimbangan majelis hakim PK untuk mengurangi hukuman terpidana.

"Misalnya peran terpidana hanya membantu dia bukan pelaku utama sementara pidana yang dijatuhkan dinilai terlampau berat," pungkasnya.

(Tribunnews.com/Maliana, Kompas.com/Ardito Ramadhan)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas