Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Haedar Nashir 10 Tahun Jadi Wartawan dan Sempat Kena Tipes Selama Setahun  

Dunia jurnalistik itu bukan sekedar ilmu dan keterampilan tetapi juga ada panggilan, spirit atau jiwa di dalamnya.

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Kisah Haedar Nashir 10 Tahun Jadi Wartawan dan Sempat Kena Tipes Selama Setahun   
surya/sulvi sofiana
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah KH Haedar Nashir saat menghadiri peletakkan batu pertama pembangunan gedung 31 lantai Universitas Muhammadiyah Surabaya, Selasa (23/4/2019) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-  Betapa tidak mudahnya untuk menjadi wartawan.

Ketika baru menyodorkan tulisan hasil liputan, dibaca sekilas, dicoret pakai tinta merah, lalu digulung dan dibuang di tong sampah.

Begitulah Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengenang sepuluh tahun (1985-1995) pengalamannya menjadi seorang wartawan sebelum menjadi pemimpin redaksi majalah tertua di Indonesia, Suara Muhammadiyah.

"Ternyata untuk membikin news atau berita, biarpun kita biasa menulis di media itu tidak selalu dipandang tepat dan cocok untuk menulis sebuah berita. Sampai sering kita yakin sudah menulis dengan bagus itu kemudian dicoret-coret dengan tinta merah ala wartawan lama. Betapa terkoyaknya perasaan kita saat itu, ego kita seperti terkoyak saat itu," kenang Haedar Nashir dalam Webinar Peluncuran Lembaga Uji Konpetensi Wartawan Universitas Muhammasiyah Jakarta, dalam aplikasi Zoom dan disiarkan di Channel Youtube tvMU, Senin (5/10/2020).

Awal-awal kejadian itu terjadi, Haedar Nashir mengaku sempat sakit hati juga.

Tetapi dalam perjalanan waktu ras itu berubah menjadi satu kesadaran untuk menjadi jurnalis yang lebih tangguh dan profesional.

Selama 10 tahun juga Haedar Nashir sering turun ke lapangan pergi ke daerah-daerah, naik bus, angkot, kereta api bahkan harus jalan kaki.

Berita Rekomendasi

"Sejak tahun 1985 sampai tahun 1995 proses itu saya jalani. Waktu itu saya sempat belajar menulis, waktu itu pimrednya pak  Ajib Hamzah, seorang budayawan dan jurnalis yang sangat dikenal di Yogyakarta," kisahnya.

"Bagaimana diajari titik koma ketika menulis dan bagaimana membikin judul yang menarik dan lain sebagainya. Itu  lewat proses perjalanan yang panjang. Itu jadi satu modal untuk bagaimana kita menjadi wartawan dan bagaimana menjadi seorang penulis termasuk penulis news," lanjutnya. 

Baca: Haedar Nashir: Komitmen dan Pemikiran Jakob Oetama Niscaya Kemajuan Berpikir Bangsa Indonesia

Baca: Kenang Sosok Malik Fadjar, Haedar Nashir : Gigih dan Bersahaja pada Semua Orang

Di masanya, Haedar Nashir masih menggunakan mesin ketik, belum komputer, komputer jinjing alias laptop apalagi smart phone.

"Dulu kalau ngetik kan tidak pakai komputer yang seperti sekarang atau laptop. Kita ngetik harus salah kan pakai tipex kertas. Betapa susahnya waktu itu. Biarpun yang lebih lama, pasti lebih susah lagi," tuturnya.

Dia mengenang pula, kala di Suara Muhammadiyah saat itu ada mesin-mesin yang tinggi dan tutsnya  sudah sangat susahnya untuk diketik.

"Bukan main itu berat sekali, butuh sekuat tenaga ini," kenangnya.

Sangking bekerja tidak mengenal waktu dan banyaknya kegiatan, Haedar Nashir sempat jatuh sakit tipes.

Selama setahun ia harus menderita tipes.

"Mungkin karena sering main mesin tik seperti itu, lalu sering nulis tidak kenal waktu. Wartawan begitu tidak kenal waktu. Kemudian juga ritme hidupnya tidak teratur ditambah jadi aktivis IPM waktu itu saya sempat kena tipes selama satu tahun saya kena tipes," tuturnya. 

"Jadi itu pengalaman jadi wartawan sehingga saya jadi pemred di majalah Suara Muhammadiyah itu berangkat dari bawah bukan karena saya di PP Muhammadiyah," tegasnya.

Untuk itu ia menegaskan, dunia jurnalistik itu bukan sekedar ilmu dan keterampilan tetapi juga ada panggilan, spirit atau jiwa di dalamnya

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas