UU Cipta Kerja, Pendidikan Dianggap Diperdagangkan, LP Ma'arif NU Merasa Dipermainkan DPR
Dirinya menilai aturan ini akan mengancam pendidikan di daerah dan masyarakat menengah ke bawah.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif Nahdatul Ulama (NU) Arifin Junaidi mengungkapkan kekecewaannya atas masuknya klaster pendidikan pada Undang-undang Cipta Kerja.
Arifin mengatakan pihaknya sempat dijanjikan oleh Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda bahwa klaster pendidikan bakal dihapus dari draft RUU Cipta Kerja.
Namun, nyatanya setelah disahkan klaster pendidikan masih ada di dalam UU Cipta Kerja.
"Sebelumnya Ketua Komisi X DPR sudah menyampaikan kepada kami, melalui masyarakat bahwa soal pendidikan ini di-drop dari UU Cipta Kerja.
Tapi ternyata masih tetap ada, karena itu kami tentu sangat kecewa. Kami merasa dipermainkan," ucap Arifin saat dikonfirmasi, Selasa (6/10/2020).
Baca: Pesangon PHK Jadi Hanya 25 Kali Upah dalam UU Cipta Kerja, Bagaimana Menghitungnya?
"Jadi saya tidak tahu ini, rezim apa ini, menganggap pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan begitu," tambah Arifin.
Arifin mengatakan tidak selayaknya kegiatan pendidikan ditujukan untuk memperoleh keuntungan.
Menurutnya, pasal 65 UU Cipta Kerja mengarahkan kegiatan pendidikan menjadi upaya mencari laba karena terdapat aturan perizinan usaha.
Baca: Arteria Dahlan: UU Cipta Kerja Harus Ubah Paradigma Berpikir Buruh
"Masa bunyinya pasal 65 itu pelaksanaan pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha.
Di dalam undang-undang itu izin usaha sama dengan izin usaha. Jadi ada upaya mencari laba," kata Arifin.
Padahal selama ini, Arifin mengatakan LP Ma'arif NU tidak pernah mengejar keuntungan dalam menjalankan pendidikan.
Menurut Ma'arif, aturan pada UU Cipta Kerja mensyaratkan izin usaha untuk pembukaan sekolah yang mengarah pada pencarian laba.
Baca: Ribuan Buruh di Kota Bogor Gelar Aksi Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja, Mogok Kerja Selama 3 Hari!
Dirinya menilai aturan ini akan mengancam pendidikan di daerah dan masyarakat menengah ke bawah.