Komentar Para Kader Partai setelah UU Cipta Kerja Disahkan: PKS, Demokrat hingga Hanura
engeahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja hingga kini masih menjadi pembicaraan, Kader berbagai partai politik pun ikut bereaksi.
Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Pengeahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja hingga kini masih menjadi pembicaraan.
Pasal-pasal yang dianggap kontoversial bagi politikus hingga berbagai kalangan bahkan berujung pada aksi unjuk rasa, termasuki demo yang dilakukan oleh mahasiswa.
Kader berbagai partai politik pun ikut bereaksi.
Mulai dari politikus Hanura, PKS, hingga Demokrat menyoroti berlakunya UU Cipta Kerja.
Baca: Reaksi Fahri Hamzah dan Fadli Zon Buntut Disahkan UU Cipta Kerja
Inilah rangkuman Tribunnews.com dari berbagai sumber mengenai tokoh-tokoh partai yang ikut menyoroti pengesahan UU Cipta Kerja:
1. Mufidayati PKS Minta Keterbukaan
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati meminta lembaga negara tidak melakukan tafsir yang keliru dan parsial atas isu-isu krusial UU Cipta Kerja terutama pada klaster Ketenagakerjaan.
Mufida meminta pimpinan DPR dan Presiden Joko Widodo transparan dalam memaparkan isi RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU Cipta Kerja.
"Hal ini penting agar publik bisa mendapatkan akses yang lengkap dan utuh terhadap isu-isu krusial di UU Cipta Kerja sesuai apa adanya sehingga tidak menimbulkan multitafsir yang menyesatkan," ujar Mufida, dalam keterangannya, Kamis (8/10/2020).
Mufida menyebut berbagai lembaga negara yang melakukan tafsir atas UU Cipta Kerja secara keliru dan parsial, memungkinkan terjadinya pemahaman yang salah terhadap poin-poin penting dan krusial dalam UU Cipta Kerja, terutama pada klaster ketenagakerjaan.
Pengesahan UU yang sangat cepat oleh DPR tetap dilakukan walau dua fraksi menolak.
Ketika itu, Fraksi PKS menolak dengan tegas karena menganggap banyak prosedur pembahasan yang tidak wajar dan mengabaikan hak-hak masyarakat pekerja.
Mufida mempertanyakan kenapa bahan UU Cipta Kerja yang sudah disahkan tidak segera dibagikan kepada anggota DPR dan publik.
"Ada apa ini? Sekarang lembaga negara melakukan tafsir atas beberapa isu krusial dalam UU Cipta Kerja utamanya di Klaster ketenagakerjaan, sementara masyarakat tidak bisa mengakses salinan UU Cipta Kerja yang sudah ketok palu, sehingga masyarakat tidak bisa mendapatkan pijakan informasi yang benar," kata dia.
Lebih lanjut, Mufida melihat perbincangan terhadap isu-isu krusial pada UU Cipta Kerja saling berkembang dengan tafsir masing-masing.
"Beberapa lembaga negara seperti kementerian beberapa lembaga yang harusnya netral dan tidak berwenang ikut melakukan kampanye atas tafsir isi UU Cipta Kerja, yang hingga saat ini belum bisa didapatkan oleh anggota DPR," ungkapnya.
Baca: Walau Diminta Presiden, Mahkamah Konstitusi Pastikan Tak Terlibat Dukung-Mendukung UU Cipta Kerja
Mufida menyayangkan sikap pemerintah dan Pimpinan DPR yang tetap memaksakan pengesahan UU Cipta Kerja pada paripurna 5 Oktober lalu di tengah penolakan sangat banyak komponan masyarakat, ormas besar, sebagian besar rakyat dan di tengah pandemi yang sedang berat saat ini.
"Rakyat benar-benar dikorbankan," paparnya.
2. Didi Demokrat Nilai Pengesahan Cacat Prosedural
Anggota Komisi XI DPR RI fraksi Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin menilai pengesahan UU Cipta Kerja melalui Rapat Paripurna DPR adalah cacat prosedural.
Sebab, ia menyebut tidak ada selembar pun naskah RUU Cipta Kerja saat hendak disahkan.
"Sudah tiga periode saya jadi anggota DPR RI. Baru kali ini saya punya pengalaman yang tidak terduga. Pimpinan DPR telah mengesahkan RUU yang sesat dan cacat prosedur," kata Didi kepada wartawan, Kamis (8/10/2020).
"Tidak ada selembar pun naskah RUU terkait Cipta Kerja yang dibagikan saat rapat paripurna tanggal 5 Oktober 2020 tersebut," imbuhnya.
Didi mengatakan, seharusnya ketika akan disahkan, naskah RUU tersebut tersedia di Ruang Paripurna.
Namun, hingga disahkan, naskah UU Cipta Kerja tak kunjung diterima para anggota dewan.
"Jadi pertanyaannya, sesungguhnya RUU apa yang telah diketok palu kemarin tanggal 5 Oktober 2020 itu? Harusnya sebelum palu keputusan diketok, naskah RUU Ciptaker sudah bisa dilihat dan dibaca oleh kami semua," ujar Didi.
"Dalam forum rapat tertinggi ini, adalah wajib semua yang hadir diberikan naskah RUU tersebut. Jangankan yang hadir secara fisik, yang hadir secara virtual pun harus diberikan," lanjutnya.
Lantas, Didi membandingkannya dengan bahan-bahan untuk tapat di tingkat komisi dan badan yang bisa didapatkannya beberapa hari sebelumnya.
Didi mempertanyakan kenapa justru RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang berdampak luas pada kehidupan kaum buruh, UMKM, lingkungan hidup dan lain-laim tidak tampak naskah RUU-nya.
"Sungguh ironis RUU Ciptaker yang begitu sangat penting. Tidak selembar pun ada di meja kami. Harusnya pimpinan DPR memastikan dulu bahwa RUU yang begitu sangat penting dan krusial yang berdampak pada nasib buruh, pekerja, UMKM, lingkungan hidup dan lain-laik sudah ada di tangan seluruh anggota DPR, baik yang fisik dan virtual," ucapnya.
Selain itu, Didi melihat ada kejanggalan lainnya, yaitu undangan rapat diberitahu hanya beberapa jam sebelum paripurna.
Menurutnya, undangan rapat tersebut telah memecahkan rekor undangan secepat kilat.
Baca: Unjuk Rasa di Gedung DPRD Garut Ricuh, Diwarnai Aksi Lempar Botol
"Ada apa gerangan ini? Sungguh tidak etis untuk sebuah RUU sepenting dan krusial ini. Padahal sudah dijadwal sebelumnya akan dilakukan pada tgl 8 Oktober 2020. Tiba-tiba menjadi 5 Oktober, tanpa informasi yang cukup dan memadai. Sehingga rapat itu menjadi rapat yang dadakan, tergesa-gesa dan dipaksakan," kata Didi.
3. AHY Minta Maaf
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) meminta maaf kepada masyarakat Indonesia, khususnya para buruh dan pekerja.
Permintaan maaf itu disampaikan setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dalam Sidang Paripurna DPR RI , Senin (5/10).
AHY meminta maaf karena partainya belum memiliki cukup suara untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, dalam hal ini menolak RUU Cipta Kerja.
"Saya mohon maaf pada masyarakat Indonesia, khususnya buruh dan pekerja, karena kami belum cukup suara untuk bisa memperjuangkan kepentingan rakyat. Insya Allah kita terus memperjuangkan harapan rakyat," ujar AHY, dalam keterangan tertulis, Senin (5/10/2020).
Fraksi Partai Demokrat (F-PD) pun, lanjut AHY, tetap memutuskan menolak RUU Cipta Kerja setelah mempertimbangkan berbagai faktor.
"Keputusan kami ini sudah disampaikan oleh F-PD dalam Pandangan Akhir Mini Fraksi pada Pengesahan Tingkat I di Rapat Kerja Badan Legislasi DPR RI (Sabtu, 3 Oktober 2020), dan kami sampaikan lagi dalam pendapat fraksi Sidang Paripurna DPR RI. Sebagai penegasan atas penolakan kami tersebut, Fraksi Partai Demokrat walk-out dari Sidang Paripurna DPR RI Senin (5 Oktober) sore ini," katanya.
Menurut AHY, RUU Cipta Kerja ini tidak memiliki urgensi. Dia mengatakan saat ini seharusnya semua pihak fokus pada penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Baginya, RUU tersebut terkesan dipaksakan, berat sebelah, dan banyak pasal yang merugikan kaum buruh dan pekerja yang jumlahnya besar sekali.
Selain itu, AHY melihat RUU tersebut berbahaya. Karena membuat pergeseran dari Ekonomi Pancasila yang dianut Indonesia menjadi Neo-Liberalistik.
Baca: Menteri Tito: UU Cipta Kerja Mudahkan Masyarakat Buka Usaha, Pemda Diminta Permudah Izin
"Nampak sekali bahwa Ekonomi Pancasila akan bergeser menjadi terlalu Kapitalistik dan Neo-Liberalistik. Tentu, menjadi jauh dari prinsip-prinsip keadilan sosial. Alih-alih berupaya untuk menciptakan lapangan kerja secara luas, RUU tersebut berpotensi menciptakan banyak sekali masalah lainnya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, AHY menegaskan Partai Demokrat akan berkoalisi dengan rakyat, terutama rakyat kecil, termasuk kaum buruh dan pekerja yang hari ini paling terdampak oleh krisis pandemi dan ekonomi.
Dia pun mengajak seluruh pengurus dan kader Partai Demokrat untuk memperjuangkan harapan masyarakat. Kepada seluruh lapisan dan elemen masyarakat, terutama kaum buruh dan pekerja, AHY juga mengajak berjuang bersama-sama untuk selalu bersuara dan tetap menegakkan nilai-nilai keadilan.
"No one is left behind. Bersama kita kuat, bersatu kita bangkit. Tuhan Bersama Kita," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, rapat paripurna untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di warnai aksi walk out atau keluar dari jalannya rapat di gedung Nusantara DPR, Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Aksi walk out dilakukan Fraksi Demokrat, setelah Benny K. Harman yang merupakan Anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat silang pendapat dengan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin selaku pimpinan rapat paripurna.
Benny meminta waktu untuk menyampaikan pandangannya, sebelum perwakilan pemerintah menyampaikan pandangan akhir terkait RUU Cipta Kerja.
Namun, Azis tidak memberikan kesempatan karena sebelumnya dua perwakilan Fraksi Demokrat sudah menyampaikan pandangannya.
"Kalau demikian, kami Fraksi Demokrat menyatakan walk out dan tidak bertanggungjawab," kata Benny di gedung Nusantara DPR,
Setelah Benny bersama perwakilan Fraksi Demokrat lainnya keluar dari jalannya rapat paripurna.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mewakili pemerintah menyampaikan pandangannya di podium.
Pembahasan RUU Cipta Kerja dimulai 20 April hingga 3 Oktober 2020, dengan menyepakati 15 bab dan 185 pasal dari sebelumya terdiri 174 pasal.
Pada tingkat I, RUU Cipta Kerja diterima enam fraksi secara bulat, satu fraksi menerima dengan catatan, dan dua fraksi menolak.
Baca: Pemenuhan Hak Atas Pangan di Indonesia Terancam Omnibus Cipta Kerja
4. Inas Hanura Pertanyakan Dampak Regulasi
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja telah disahkan menjadi UU Cipta Kerja. Namun demikian, UU Cipta Kerja tersebut masih menuai pro dan kontra di masyarakat.
Politikus Hanura Inas Nasrullah Zubir turut angkat bicara perihal UU Cipta Kerja yang dinilainya tak mempertimbangkan dampak dari regulasi tersebut setelah disahkan.
"Adakah analisis dampak regulasi omnimbus law Cipta Kerja? Menurut saya, ada kekurangan dalam penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja ini, dimana penyusunan-nya hanya berlandaskan naskah akademik saja tapi tidak dilanjutkan dengan Regulatory Impact Analysis (RIA)," ujar Inas, kepada wartawan, Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Walaupun daftar inventaris masalah disusun setelah terbitnya naskah akademik RUU Cipta Kerja, akan tetapi Inas menegaskan filosofi itu berbeda dengan daftar identifikasi masalah dari RIA yang berdasarkan panduan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
"Sejak 2008, DPR sudah mengimplementasikan RIA, tapi sayangnya sering diabaikan juga, akibatnya dapat berpotensi menimbulkan gejolak ditengah masyarakat," kata dia.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI periode 2017-2019 itu mengatakan daftar inventaris Mmasalah dalam NA hanya berupa persandingan dengan UU sebelumnya.
Padahal jika mengikuti pedoman OECD, kata Inas, seharusnya Daftar Identifikasi Masalah itu mengenai negatif atau positifnya suatu kebijakan yang berisi semua kemungkinan yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan bagi rakyat dan negara.
"Oleh karena itu, suka atau tidak suka, sudah waktunya setiap anggota DPR dibekali pengetahuan tentang RIA dan bukan diserahkan kepada Badan Keahlian DPR, karena dalam kenyataannya RIA sering diabaikan," tandasnya. (*)
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Vincentius Jyestha, Chaerul Umam)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.