Boni Hargens Duga ada Bandar di Balik Demo Tolak Omnibus Law Cipta Kerja, Ini Aktornya
Apakah benar ini untuk kepentingan buruh atau ada pihak lain yang menunggangi aksi buruh?
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Boni Hargens mengatakan gelombang aksi penolakan UU Omnibus Cipta Kerja (Ciptaker) memunculkan tanda tanya di tengah masyarakat.
Apakah benar ini untuk kepentingan buruh atau ada pihak lain yang menunggangi aksi buruh?
Namun, berdasarkan investigasi independen yang dilakukan oleh Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) sebelum aksi 8 Oktober 2020 sampai hari ini ditemukan ada indikasi keterpautan beragam kepentingan dan kelompok pemain di balik aksi ini.
"Secara garis besar, ada dua kelompok yang terlibat dalam aksi 8 Oktober tersebut dan yang juga akan bergabung dalam aksi lanjutan 13 Oktober 2020 dan aksi-aksi yang akan datang," ujar Boni Hargens dalam keterangannya, Senin (12/102020).
Pertama, menurut Boni Hargens, kelompok buruh dan para aktivis yang ideologis ingin memperjuangan kepentingan buruh.
Baca juga: Unjuk Rasa Hari Ini, ada 13 Spanduk Bertuliskan KAMI Terbukti Tunggangi Aksi Demo Buruh dan Pelajar
Baca juga: TNI-Polri Gelar Apel Pengamanan Antisipasi Kembali Adanya Demo Tolak Omnibus Law di Jakarta
Mereka benar-benar mempersoakan pasal-pasal yang menurut mereka berpotensi multitafsir sehingga dalam perumusan peraturan pemerintah (PP) nanti ada potensi kepentingan buruh dikorbankan.
"Kelompok tipe ini tentu penting untuk diterima sebagai kritik dan saran untuk evaluasi dalam konteks judicial review jika itu dinilai perlu," katanya.
Namun, lanjut Boni Hargens, ada kelompok kedua yaitu massa yang dimobilisir oleh oknum dari partai politik oposisi dan dari kelompok antipemerintah yang selama ini memainkan peran sebagai oposisi jalanan. Massa ini datang dari berbagai latar belakang.
"Ada yang massa partai, massa ormas, dan bahkan ada kelompok pengacau yang biasa di kenal sebagai kaum anarko," ujar Boni.
Massa tipe kedua inilah, menurut Boni Hargens, yang kemarin dalam aksi 8 Oktober terlibat dalam aksi anarkisme, pengrusakan fasilitas umum, termasuk penyerangan terhadap aparat keamanan dari kepolisian.
"Massa tipe kedua ini yang dibayar oleh bandar politik yang bertebaran dari daerah sampai Jakarta," katanya.
Boni Hargens mengaku tidak mempunyai otoritas untuk membeberkan identitas dari para penyumbang dana dalam aksi ini karena itu wilayah hukum yang menjadi yurisdiksi kepolisian.
"Namun, apa yang dikatakan pemerintah melalui beberapa tokoh di pemerintahan, sungguh benar bahwa ada kelihatannya ada bandar yang mendanai aksi 8 Oktober dan aksi-aksi lanjutannya," kata Boni Hargens.
Pertanyaannya, menurut Boni Hargens, adalah untuk apa mereka mengeluarkan uang dan melakukan aksi anarkis?
"Ada kelompok partai yang ingin menaikkan popularitas untuk memastikan kemenangan di pilkada 2020 dan persiapan pemilu 2024. Apalagi kalau electoral threshold nanti dinaikkan ke 7%, maka partai oposisi ada yang terancam punah," katanya.
Mereka ini, ujar Boni Hargens, bekerja keras untuk mendegradasi citra partai pendukung pemerintah untuk menyelamatkan partai mereka di pilkada 2020 da pemilu 2024.
"Selain itu, kelompok lain yang adalah oposisi jalanan, mereka berkepentingan untuk menaikkan posisi tawar dalam rangka persiapan pilpres 2024," katanya.
Jadi, menurut Boni Hargens, ada banyak aktor yang bermain dalam aksi ini tetapi sebagian besar tidak memikirkan kemaslahatan buruh, tetapi sekedar menjadikan isu buruh sebagai pintu masuk untuk menyerang pemerintah.
"Maka tidak mengejutkan sebetulnya ketika ada temuan di lapangan bahwa banyak peserta aksi tidak memahami pasal-pasal dalam UU Ciptaker yang menjadi alasan aksi itu ada. Mereka hanyalah massa mengambang yang dimobilisasi untuk menyerang pemerintah. Kelompok ini yang secara pragmatis direkrut dan dimobilisasi untuk terlibat dalam aksi anarkis," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.