ICW : Cost Politik Pilkada Hanya Satu dari Banyak Faktor Kepala Daerah Tergoda Korupsi
ICW menegaskan cost politik pilkada hanyalah satu dari banyak faktor yang membuat kepala daerah jatuh dalam jurang korupsi.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina mengatakan banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi bukan hanya dilatarbelakangi satu faktor seperti cost politik.
Almas menegaskan cost politik pilkada hanyalah satu dari banyak faktor yang membuat kepala daerah jatuh dalam jurang korupsi.
"Jadi cost politik pilkada itu bukan satu-satunya faktor dan itupun yang membuat tidak terelakkan dan tidak terjawab dengan undang-undang pilkada dengan peraturan dana kampanye, pengaturan kampanye ya adalah cost politik yang ilegal," ujar Almas, dalam webinar 'Catatan Kritis Kebijakan dan Tata Kelola Pelaksanaan Pilkada', Kamis (15/10/2020).
Baca juga: Mahfud Cerita Soal Kepala Daerah Sempat Dipilih DPRD: Ternyata Pilkada Tak Lahirkan Pemimpin Baik
Selain cost politik, faktor yang membuat kepala daerah tergoda melakukan korupsi sangatlah beririsan dengan partai politik, satu di antaranya soal mahar politik.
Almas mencontohkan parpol yang kerap meminta mahar agar kader dapat dicalonkan sebagai bakal calon kepala daerah.
Bahkan banyak bakal calon kepala daerah yang terpaksa tak jadi dicalonkan karena tidak sanggup memberikan mahar politik.
Pun demikian dengan tuntutan untuk membiayai partai politik.
Karena, kata Almas, partai politik tidak hanya butuh uang untuk menjalankan roda organisasi pada saat pemilu tapi di luar pemilu juga dibutuhkan.
"Juga ada problem kandidasi. Kita sudah sangat familiar dengan jokes yang menyebut bahwa kualitas ini nomor sekian, yang teratas atau yang terpenting isi tasnya berapa," jelasnya.
Baca juga: ICW : Pilkada Tak Langsung Bukan Solusi Bersihkan Korupsi yang Jerat Kepala Daerah
Faktor ketiga yang melatarbelakangi kepala daerah melakukan korupsi tak terlepas dengan hukuman yang dijatuhkan oleh aparat penegak hukum kepada koruptor.
Almas menegaskan hukuman kepala daerah yang terjerat korupsi sangatlah rendah sehingga menimbulkan efek jera yang minimal dan tak berdaya cegah.
"Faktor keempat, minimnya pengawasan internal DPRD dan juga oleh publik. Oleh publik ini juga akan debatable, karena publik hanya bisa efektif mengawasi kalau publik bisa mengakses informasi yang cukup yang lengkap dari pemerintah daerah," tandasnya.