Kepala BKPM: Revolusi Lingkungan, Perusahaan Besar Tak Taat Amdal Bisa Ditutup
Apabila perusahaan besar tidak memiliki Amdal atau melanggarnya dikemudian hari, maka pemerintah berhak mencabut izin usahanya.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadiala mengatakan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) merupakan syarat bagi perusahaan besar untuk melanjutkan aktivitas produksinya.
Apabila perusahaan besar tidak memiliki Amdal atau melanggarnya dikemudian hari, maka pemerintah berhak mencabut izin usahanya.
Bahlil mengatakan, aturan itu sangat revolusioner dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dalam mementingkan aspek lingkungan.
Baca juga: AMDAL dalam UU Cipta Kerja Untuk Perlindungan Lingkungan
Sebab, pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), menurut Bahlil, pemerintah tidak punya hak untuk mencabut izin usaha yang melanggar Amdal di kemudian hari.
"Tidak ada risiko hukum secara kuat yang menyatakan Amdal, katakanlah usahanya ditutup. Belum ada (preseden) itu, yang ada diperbaiki terus. Maka dengan UU ini, Amdal dimasukkan sebagai izin usaha. Supaya kalau orang melanggar Amdal kita bisa peringatkan izinnya kami cabut," kata Bahlil, Jumat (16/10/2020).
Bahlil menerangkan, Amdal pada Undang-undang yang lama tidak termasuk dalam izin usaha. Pada Undang-undang Omnibus Law.
Baca juga: Presiden Jokowi Bantah UU Cipta Kerja Hapus Izin Amdal Bagi Industri
Menurutnya, Amdal merupakan hal yang wajib dilampirkan ketika perusahaan besar mengajukan izin usaha. Keduanya saling melekat dan tidak terpisahkan.
Bahlil menjelaskan, ada tiga klasifikasi usaha yang diatur dalam Undang-undang Omnibus Law, yaitu perusahaan kecil, menengah dan besar.
Apabila perusahaan kecil, maka cukup mengajukan surat pernyataan. Sedangkan perusahaan menengah terdapat Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL-UPL).
Sementara perusahaan besar harus mengajukan Amdal saat pertama kali mengajukan permohonan izin.
Bahlil yang berlatar belakang pengusaha ini berpengalaman bahwa upaya untuk mengajukan Amdal sangat sulit dilakukan. Sebab ada upaya tarik-menarik kepentingan antara pusat, provinsi, kabupaten atau kota, kementerian serta pihak terkait.
Mengurus Amdal sendiri bahkan bisa mencapai setahun lebih. Hal itu membuat daya saing Indonesia lambat, apabila dibandingkan dengan pabrik di Vietnam yang sudah berproduksi.
Karena itu, lanjut dia, proses pengajuan Amdal pada UU Omnibus Law dipangkas, tetapi tetap mengutamakan asas lingkungan itu sendiri.
"Amdalnya saja yang dipangkas, (prosesnya) tidak lama. Karena apa? Karena mengurus Amdal itu bisa 1 tahun 6 bulan. Pabrik di Vietnam sudah produksi, kita Amdalnya belum selesai," jelas dia.
Lebih lanjut Bahlil mengatakan, semua perizinan juga terintegrasi lewat Online Single Submission (OSS). Dengan begitu, transparansi, efesiensi, serta memangkas birokrasi yang panjang. Dengan kata lain, praktik korupsi bisa dihilangkan karena pengusaha tidak bersinggungan dengan aparat atau birokrasi.
"Semuanya clear and clean. Dan yang penting ialah dengan UU ini diwajibkan kepada seluruh investor baik dalam dan luar negeri yang masuk ke Indonesia wajib bergandengan dengan UMKM. Nah, itulah mengapa saya katakan UU ini pro-UMKM, di mana saya pengin mahasiswa kita, bisa menjadi pengusaha dengan kemudahan dengan UU ini," jelas dia.