Pengamat Intelijen Duga Ada Upaya Delegitimasi Pemerintah Lewat Aksi Anarkis
Stanislaus menduga, terjadinya kekerasan dan serangan terhadap aparat keamanan dan perusakan fasilitas umum terlihat sudah direncanakan.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Intelijen dan Keamanan Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta menyoroti demo buruh dan mahasiswa yang justru diwarnai kekerasan terhadap aparat keamanan dan perusakan fasilitas umum.
Stanislaus menduga, terjadinya kekerasan dan serangan terhadap aparat keamanan dan perusakan fasilitas umum terlihat sudah direncanakan.
Hal itu terbukti dari temuan adanya orang-orang yang menyusup dalam kelompok buruh dan mahasiswa dengan membawa peralatan seperti besi panjang, batu, bahkan molotov.
Baca juga: Demo Berakhir Ricuh, Perusuh Lempar Bola Kasti Berisi Cairan Kimia
Hal ini disampaikan Stanislaus dalam diskusi webinar yang digelar Indonesian Public Institute (IPI) dengan Tema: 'Pro Kontra Omnibus Law, Kepentingan Siapa?', Jumat (16/10/2020).
"Alat-alat tersebut dibawa tentu saja bukan untuk mendukung penolakan UU Cipta Kerja tetapi untuk menciptakan kondisi kacau dan rusuh, dan mengarah kepada delegitimasi pemerintah," kata Stanislaus.
Stanislaus pun menduga, ada tiga kelompok dalam unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang terjadi di berbagai kota di Indonesia.
Kelompok pertama adalah mahasiswa dan buruh yang tujuan utamanya murni mengkritisi UU Cipta Kerja.
"Kelompok pertama ini sangat jelas identitasnya, tempat kerjanya jelas, kampusnya jelas. Mereka menggunakan hak menyampaikan pendapat yang dilindungi Undang-Undang," kata Stanislaus.
Baca juga: Bentrok dengan Polisi, Massa Dipukul Mundur ke Jalan MH Thamrin hingga Medan Merdeka Selatan
Kemudian kelompok kedua, adalah para pengikut, pengejar eksistensi, korban propaganda hoaks di media sosial. Kelompok ini didominasi oleh remaja-remaja yang nyaris sebagian besar tidak paham konten UU Cipta Kerja.
"Kelompok kedua ini mudah diprovokasi untuk menyerang aparat," lanjutnya.
Adapun kelompok ketiga, Stanislaus menyebut mereka sebagai para penumpang gelap, menumpang isu penolakan UU Cipta Kerja untuk kepentingannya sendiri/kelompok.
"Ciri khas dari kelompok ini dapat dilihat dari aksi dan narasinya," jelas Stanislaus.
Ia memaparkan, aksi yang dilakukan kelompok jenis ketiga ini menjurus pada kekerasan dan perusakan dilakukan oleh kelompok anarko.
Sedangkan narasi yang disampaikan melenceng dari UU Cipta Kerja, misalnya narasi lengserkan Presiden atau sentimen terhadap etnis tertentu, dilakukan oleh kelompok politis dan ideologis.
"Bukti dari adanya kelompok ketiga ini adalah adanya penangkapan oleh Polri terhadap para pelaku, yang bukan berasal dari komponen buruh dan mahasiswa," jelas Stanislaus.
Terakhir, ia menilai pengesahan UU Cipta Kerja telah dikapitalisasi dan dijadikan kesempatan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membuat kekacauan, kerusuhan, bahkan mengadu domba antara masyarakat dengan aparat.
"Polri harus bertindak tegas dengan melakukan proses hukum terhadap siapapub juga yang terbukti melakukan provokasi, menyebar hoax, sehingga mangakibatkan unjur rasa menjadi rusuh dan berdampak negatif," jelas Stanislaus.