Penghapusan Pasal 46 dalam Draf UU Cipta Kerja Tuai Polemik, Ini Tanggapan Pihak Istana dan DPR
Pihak Istana dan DPR angkat bicara mengenai gegernya penghapusan satu pasal dalam draf UU Cipta Kerja.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Citra Agusta Putri Anastasia
TRIBUNNEWS.COM - Polemik pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja masih terus berlanjut.
Terbaru, ada perubahan format halaman setelah draf UU Cipta Kerja diserahkan ke Sekretariat Negara.
Terjadi perubahan ketebalan halaman, dari semula 812 halaman, kini menjadi 1.187 halaman.
Tidak hanya itu, dalam draf terbaru, ketentuan pengubahan Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dihapus.
Dalam UU Cipta Kerja setebal 812 halaman, ketentuan itu tertuang pada Pasal 40 angka 7 yang mengubah ketentuan Pasal 46 UU Minyak dan Gas Bumi.
Penghapusan pasal ini pun menjadi sorotan publik.
Lantas, apa tanggapan pihak DPR hingga Istana terkait hal ini?
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Willy Aditya, membenarkan mengenai penghapusan pasal tersebut.
Baca juga: UU Cipta Kerja Mau Diapakan Setelah Jokowi Menerima Respon Penolakan Sejumlah Ormas dan Buruh?
Willy mengatakan, pasal itu memang semestinya dihapus sesuai dengan kesepakatan dalam rapat panitia kerja (Panja) sebelumnya.
"Sesuai teknis perancangan karena tidak ada perubahan."
"Maka tidak ditulis lagi dalam RUU Cipta Kerja atau harus dikeluarkan," ujar Willy saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/10/2020).
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas.
Menurut Supratman, ketentuan pengubahan Pasal 46 tersebut itu telah diklarifikasi Sekretariat Negara (Setneg) ke Baleg.
Sebab, memang tidak ada kesepakatan untuk mengubah Pasal 46 UU Minyak dan Gas Bumi.
Baca juga: Polemik Draf UU Cipta Kerja Berubah Jadi 1.187 Halaman, Ada Pasal yang Dihapus, Ini Penjelasannya
"Kebetulan Setneg yang temukan, jadi itu seharusnya memang dihapus," kata Supratman.
Supratman menjelaskan, Pasal 46 UU Migas itu berkaitan dengan tugas Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas.
Dia mengatakan, pemerintah sempat mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan menambahkan satu ayat, tetapi tidak disetujui.
Namun, Pasal 46 masih tercantum dalam naskah setebal 812 halaman yang dikirim DPR ke Setneg.
Ketentuan pengubahan pasal itu pun sebelumnya tercantum dalam Pasal 40 angka 7.
Supratman pun telah mengonsultasikan soal temuan Setneg itu kepada para kolega di Baleg.
Ia memastikan pasal tersebut seharusnya tidak ada.
Baca juga: Naskah UU Cipta Kerja Berubah Lagi Jadi 1.187 Halaman tapi Kenapa Ada Pasal yang Hilang?
"Ternyata masih tercantum ayat (1) sampai (4). Karena tidak ada perubahan, oleh Setneg itu mengklarifikasi ke Baleg."
"Saya pastikan setelah berkonsultasi semua ke kawan-kawan itu benar seharusnya tidak ada," tegas Supratman.
Sementara, Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purwono mengakui pihak Sekretariat Negara menghapus satu pasal dalam naskah UU Cipta Kerja.
Ia pun membenarkan, pasal yang dihapus adalah ketentuan pengubahan Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Dalam UU Cipta Kerja setebal 812 halaman yang diserahkan DPR ke Istana, ketentuan itu tertuang pada Pasal 40 angka 7 yang mengubah ketentuan Pasal 46 UU Minyak dan Gas Bumi.
Namun, pasal itu tidak ada dalam UU Cipta Kerja terbaru versi 1187 halaman yang diserahkan pemerintah ke ormas MUI, NU, dan Muhammadiyah.
Baca juga: Pasal 46 UU Cipta Kerja Dihapus, PKS: Seharusnya Cermat Sebelum Diketok di Paripurna
Dini menyebut, pasal tersebut dihapus sesuai dengan kesepakatan dalam rapat panitia kerja antara DPR dan pemerintah.
"Intinya Pasal 46 tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final."
"Karena dalam rapat panja memang sudah diputuskan untuk pasal tersebut kembali ke aturan dalam UU existing," kata Dini saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/10/2020).
Dini mengakui, sesudah UU disahkan dalam rapat paripurna, tak boleh lagi ada perubahan substansi.
Namun, Dini menegaskan, penghapusan pasal itu bukan berarti mengubah substansi dalam UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada 5 Oktober lalu.
"Yang tidak boleh diubah itu substansi. Dalam hal ini penghapusan tersebut sifatnya administratif atau typo."
"Dan justru membuat substansi menjadi sesuai dengan apa yang sudah disetujui dalam rapat panja baleg DPR," jelasnya.
(Tribunnews.com/Maliana, Kompas.com/Tsarina Maharini/Ihsanuddin)