Gelar Munas ke-X, MUI Akan Bahas Fatwa Terkait Vaksin Covid-19
gelaran Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Munas MUI) ke-X akan ada pembahasan rekomendasi dan fatwa terkait vaksin Covid-19.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi mengatakan, dalam gelaran Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Munas MUI) ke-X akan ada pembahasan rekomendasi dan fatwa terkait vaksin Covid-19.
Penyelenggaraan Munas kali ini bertepatan dengan pandemi Covid 19 sehingga dilakukan secara blanded system, yaitu on line dan off line serta dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat, misalnya semua peserta off line harus di test swab, menggunakan masker, masing-masing peserta disiapkan 1 mic, dan tempat persidangan yang berjarak 1 - 1,5 meter.
"Munas akan membahas rekomendasi dan fatwa antara lain ; terkait human diploid cell pada vaksin, penggunaan masker saat berihram haji dan umrah, pendaftaran haji melalui utang dan pembiayaan, dan pendaftaran haji pada usia dini," terangnya, Senin (23/11/2020).
Lebih lanjut, wakil menteri agama ini mengatakan, Munas juga akan memilih Ketua Umum MUI pengganti KH. Ma'ruf Amin yang sekarang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia.
Baca juga: MUI Gelar Munas ke-X Pilih Kepengurusan 2020-2025, Muhyiddin: Akan Ada Wajah Baru
Dari aspirasi dari berbagai daerah untuk Ketua Umum MUI diharapkan dijabat oleh seorang ulama yang memiliki kriteria sebagai berikut : memiliki kedalaman ilmu agama (mutafaqqih fiddin), dapat menjaga muru'ah atau harga dirinya (mutawarri'), memiliki kemampuan menggerakkan organiasi (muharrik), tertib dalam memimpin organisasi (munadzdzim), aspiratif dan diterima oleh semua kalangan serta bisa bekerja sama dengan semua pihak.
"MUI ke depan akan terus memantapkan peran dan fungsinya dalam melaksanakan tugas amar ma'ruf nahi mungkar atau mengajak ke jalan kebaikan (ma'ruf) dan mencegah hal-hal yang dilarang oleh agama (munkar)," ungkap Zainut.
Menurutnya, Munas MUI ke-X diharapkan pula merumuskan panduan etika dakwah untuk dijadikan panduan oleh para da'i, muballigh dan tokoh masyarakat dalam menunaikan tugas mulia.
"Orang sering memahami tugas mulia tersebut secara keliru, seakan-akan kalau mengajak kebaikan itu dengan cara yang lemah lembut sedangkan kalau mencegah kemungkaran itu harus dengan cara yang keras dan kasar."
"Pemahaman seperti itu adalah keliru dan tidak dibenarkan menurut agama. Baik amar ma'ruf maupun nahi munkar harus dilaksanakan dengan cara-cara yang baik, santun, berakhlak mulia dan tidak melanggar hukum dan norma susila," harapnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.