Nadiem Makarim Ungkap Hal-hal yang Mengejutkannya Setelah Menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Banyak orang mengenal Nadiem sewaktu Jadi CEO Gojek. Namun perubahan secara personal adalah yang menurut Nadiem sangat mengejutkan.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keseharian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim dapat digambarkan dalam satu kata yaitu intens. Intens di sini berarti Nadiem ekstra sibuk.
Di samping menjadi seorang pejabat negara, Nadiem juga adalah seorang ayah dari tiga orang anak yang masih balita.
Dua dari tiga anak Nadiem sudah mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Sebagai ayah, Nadiem kerap memberikan bimbingan kepada anak-anaknya yang mengikuti PJJ.
Sebagai Mendikbud, Nadiem juga memiliki serangkaian kegiatan yang membuatnya rutin bepergian, terus-menerus.
Melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah, ke daerah-daerah, meneruskan transformasi program Merdeka Belajar, hingga menangani pandemi Virus Corona atau Covid-19.
Nadiem mengatakan, menggarap program-program yang dirancangnya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan jadi sebuah tantangan tersendiri di tengah situasi pandemi.
Dia pun terus melakukan mitigasi terhadap semua masalah yang dialami anak-anak, para orang tua, dan para.
Hal ini diceritakan Nadiem saat berbincang dengan penyanyi Maudy Ayunda via live streaming di aplikasi Instagram, Jumat (26/11/2020).
"Day to day saya intens, itu kata yang tepat. Kadang-kadang harus ada kunjungan kerja ke sekolah-sekolah, daerah-daerah, tapi harus menghandle transformasi jangka panjang sekaligus menghandle krisis pandemi saat ini," ucap Nadiem.
"Satu lagi masalahnya, tidak banyak menteri yang punya tiga anak bayi. Jadi saya punya tiga anak bayi, jadi full time PJJ anak saya yang umur tiga dan dua tahun, full time menteri, jadinya agak a lot juggling," sambung Nadiem.
Dalam suatu situasi yang kompleks seperti ini Nadiem menerapkan frame works sebagai operating principles.
Frame work Nadiem yang pertama adalah apapun yang dilakukan selalu pertanyakan, 'apakah ini akan membantu kualitas pembelajaran anak-anak kita?'
Nadiem menjelaskan, kalau semua yang dilakukan difilter pakai pertanyaan tersebut, niscaya semua keputusan yang diambil bakal lebih baik.
"Ini sepertinya simpel, tetapi ini sulit untuk melakukannya. Jadi itu, itu frame work yang pertama," ucap Nadiem.
Baca juga: Nadiem Makarim: Satu-satunya Orang yang Bisa Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Adalah Guru
Frame work Nadiem yang kedua adalah ruthless efficiency. Yang berarti apapun yang dikerjakan tidak melulu harus sempurna, karena yang utama adalah cepat dan largely tepat sasaran.
"Di dalam kebijakan yang begitu kompleks, dalam domain yang begitu kompleks, tidak bisa semuanya sempurna. Tapi kalau kita sudah terlambat mengerjakannya, semuanya justru sudah tidak ada gunanya lagi," jelas Nadiem.
"Jadi kita harus terus mencoba dan harus berani mengambil risiko. Tidak akan semua orang senang pada keputusan kita, tapi itu namanya beban kepemimpinan. Jadi mungkin frame work saya itu," sambung Nadiem.
Hal-hal Mengejutkan Setelah Jadi Menteri
Nadiem menceritakan, ada sejumlah hal yang membuatnya benar-benar terkejut setelah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Pertama yakni perubahan personalitas dan konsep sosialisasi pada diri Nadiem yang begitu terasa.
Memang banyak orang mengenal Nadiem sewaktu Jadi CEO Gojek. Namun perubahan secara personal adalah yang menurut Nadiem sangat mengejutkan.
"Jadinya yang paling surprising adalah sebenarnya adaptasi yang dibutuhkan secara personal untuk menjadi pejabat publik," kata Nadiem.
Perubahan secara personal ini memerlukan konsep hubungan yang baru, baik ketika berhubungan dengan masyarakat secara langsung maupun melalui sosial media.
Dengan menampakkan image sebagai pejabat publik, Nadiem mengaku tidak bisa lagi sekadar jalan-jalan ke tempat umum dengan bebas.
"Tidak bisa lagi keluar-keluar ke jalanan, tidak bisa. Ke restoran atau ke mana-mana kan sekarang dicegat orang, itu mungkin yang paling surprising," kata Nadiem.
Hal kedua yang membuat Nadiem terkejut yakni temuan tentang banyaknya sumber daya manusia (SDM) hebat di dalam Pemerintahan.
Nadiem mengatakan, mereka yang datang dari pihak swasta cenderung berpandangan skeptis pada Pemerintah.
"Tapi awal-awal waktu saya masuk ke Kemendikbud, saya belajar banyak banget orang-orang bagus di Kemendikbud. Dan itu orang-orang yang bukan cuma bagus, orang-orang hebat," kata Nadiem.
Namun, lanjut Nadiem, banyak dari orang-orang hebat itu belum dimerdekakan, sehingga belum bisa mencapai apa yang mereka inginkan.
Baca juga: Menteri Nadiem Ajak Guru Jadikan Pandemi Sebagai Laboratorium Pengembangan Inovasi
Nadiem mengatakan, temuan ini yang membuatnya sangat memotivasi untuk mengangkat derajat para pendidik anak bangsa.
"Tapi ternyata di dalam birokrasi kita, kadang-kadang kita orang luar skeptis, tapi sebenarnya talent itu banyak sekali di Pemerintahan dan tinggal di unlock, mungkin itu yang surprising," ucap Nadiem.
Hal ketiga yang membuat Nadiem terkejut adalah banyaknya guru-guru di daerah yang ternyata memiliki kompetensi yang sangat baik.
Guru-guru di daerah yang ditemui Nadiem memiliki hati yang luar biasa baik dan pemikiran kritis terhadap mekanisme pembelajaran anak-anak.
"Guru-guru yang saya temui di daerah-daerah, guru-guru yang tidak punya suara sebenarnya, hanya kebetulan saja bicara sama saya, tapi mereka itu punya luar biasa hati dan pemikiran kritis terhadap pembelajaran buat anak-anak. Di daerah-daerah ya, ini bukan di Jakarta ataupun di Jogja," ujarnya.
Nadiem mengatakan, temuan ini memotivasi dirinya untuk memerdekakan kehidupan guru-guru yang selama ini terabaikan.
Dia meyakini, bila sistem yang selama ini ada bisa disederhanakan, maka nasib guru-guru hebat di daerah tidak akan lagi terbengkalai.
"Bahkan ada kemungkinan orang-orang ini bisa menjadi penggerak-penggerak dan secara otomatis mereka akan meningkatkan kualitas daripada insitusi pendidikan di masing-masing daerahnya. Jadi itu mungkin hal-hal yang surprising buat saya," ucap Nadiem.
Pelajar Pancasila
Nadiem menuturkan, tujuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke depan adalah mencetak Pelajar Pancasila.
Ada enam kriteria pelajar Pancasila menurut Nadiem, di antaranya; berakhlak mulia, memiliki kebhinekaan global, memiliki kemandirian dalam belajar, kreatif, memiliki semangat gotong-royong atau team work, dan bernalar kritis.
"Semua ini menjadi enam profil Pelajar Pancasila kita. Bukan karena itu adalah goal yang ada di luar negeri, itu simply adalah kritikal kompetensi yang dibutuhkan di masa depan kita," ucap Nadiem.
Baca juga: Mendikbud Nadiem Mengaku Terharu Melihat Pengorbanan Guru di Tengah Pandemi Covid-19
Nadiem menyadari betul bahwa masa depan bakal terus berubah, bahkan semakin cepat fase daripada perubahan tersebut.
Yang jadi masalah adalah bagaimana anak-anak Indonesia bisa adaptif, kreatif, berkolaborasi dan menjadi pembelajar sepanjang hayat, serta secara independen punya motivasi intrinsik untuk belajar.
Nadiem berpendapat, untuk mencetak Pelajar Pancasila, maka para guru harus memiliki enam kriteria yang dimaksud.
"Bagaimana bisa kalau role model mereka di dalam sekolah tidak menunjukkan ciri-ciri seperti itu," ujar Nadiem.
Nadiem berpendapat, untuk memerdekakan pemikiran anak-anak Indonesia, terlebih dahulu perlu memerdekakan guru-guru.
Untuk memerdekakan guru-guru terlebih dahulu harus memerdekakan kepala sekolahnya, untuk memerdekakan kepala sekolahnya sistem pendidikan harus ada pembenahan.
"Ownership, kenapa merdeka belajar sangat penting? Karena tanpa kemerdekaan tidak ada rasa kepemilikan, tidak ada rasa akuntabilitas, those two come hand in hand. Jadi itu kuncinya," kata Nadiem.
Nadiem menjelaskan, merdeka belajar berarti terbebas dari segala bentuk penjajahan dalam proses pembelajaran.
Misal terbebas dari jajahan standarisasi, administrasi yang bebannya terlalu besar, terbebas birokrasi yang semakin berbelit, serta terbebas dari berbagai hoaks informasi dari luar karena tidak punya penalaran kritis.
Menurut Nadiem semua ini adalah hal-hal yang satu persatu perlu dipilah dan dipilih. Pelajar Indonesia saat ini telah terbebas dari Ujian Nasional, yang sebelumnya menjadi standarisasi kelulusan.
"Dulu kita juga pernah dijajah sama UN, sudah kita memerdekakan. UN dulu mengukur masa depan siswanya, sekarang UN diganti assesmen nasional, yang mengukur sekolah, sekolah yang diukur, bukan anak. Jadi kira-kira begitu," pungkas Nadiem. (tribun network/genik)