Djoko Tjandra Minta Dibebaskan dari Tuntutan Surat Jalan Palsu
Ia menegaskan dirinya bukan pelaku tindak pidana membuat dan atau menggunakan surat jalan palsu. Untuk itu ia semestinya diputus bebas.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus surat jalan palsu Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra membacakan sendiri nota pembelaan atau pledoi atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (11/12/2020). Dalam perkara ini ia dituntut dua tahun penjara.
Dalam pledoinya, Djoko Tjandra meyakini Majelis Hakim PN Jaktim yang menangani perkara ini mengetahui secara terang dan jelas tentang fakta - fakta yang terungkap dalam persidangan.
Ia menegaskan dirinya bukan pelaku tindak pidana membuat dan atau menggunakan surat jalan palsu. Untuk itu ia semestinya diputus bebas.
"Saya percaya Majelis Hakim Yang Mulia melihat dengan terang dan jelas kebenaran-kebenaran dalam fakta-fakta yang terungkap di Persidangan ini, yakni saya bukanlah pelaku tindak pidana membuat surat palsu atau memalsukan surat sebagaimana Surat Tuntutan Penuntut Umum, dan atau saya bukanlah pelaku tindak pidana pemakai surat palsu atau surat yang dipalsu sebagaimana Surat Dakwaan Penuntut Umum, sehingga harus dibebaskan," kata Djoko Tjandra membacakan pledoinya.
Eks buronan kasus korupsi hak tagih (cassie) Bank Bali itu juga menyebut bahwa dirinya adalah korban ketidakadilan dan korban pelanggaran HAM.
Baca juga: Djoko Tjandra Dituntut 2 Tahun Penjara, Brigjen Prasetijo 2 Tahun Enam Bulan
Miscarriage of justice dan korban ketidakadilan yang ia maksud, merujuk pada Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Penuntut Umum Kejari Jakarta Selatan yang kemudian dikabulkan Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor: 12/PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009.
Padahal kata dia, PK yang diajukan Jaksa Kejari Jakarta Selatan melanggar hukum sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.04/BUA.6/HS/III/2014 tanggal 28 Maret 2014.
Dalam Lampiran Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut dinyatakan pada butir 3 bahwa jaksa tidak diperbolehkan mengajukan PK. Sebab yang berhak diatur dalam KUHAP Pasal 263 ayat (1).
Lalu Djoko Tjandra menjelaskan sengaja kembali ke Indonesia setelah menetap lama di luar negeri karena ingin mengajukan PK terhadap putusan Mahkamah Agung R.I Nomor : 12/PK/Pid.Sus/2009 tersebut. PK disebut sebagai jalan hukum satu - satunya.
"Dan untuk itu saya harus mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Apakah itu merupakan niat yang jahat?," ucapnya.
Namun ia mengaku tidak paham apa saja yang diperlukan untuk pengajuan PK. Oleh karena itu dirinya merekrut Anita Dewi Kolopaking sebagai advokatnya, dan temannya, Tommy Sumardi.
Djoko Tjandra tidak tahu bagaimana Anita dan dengan siapa saja ia mengurus segala keperluan pengajuan PK itu.
Ia mengaku tak kenal dengan Brigjen Prasetijo Utomo, dan Irjen Napoleon Bonaparte. Selaras dengan itu, ia menyebut fakta dalam persidangan juga menunjukkan bahwa dirinya tak tahu menahu, bahkan tak pernah bertemu dengan kedua saksi.
"Fakta-fakta dalam persidangan Perkara ini menunjukkan dan membuktikan bahwa sebelum saya pulang ke Indonesia saya tidak pernah bertemu dan tidak mengenal saksi-saksi," kata Djoko Tjandra.