Epidemiolog: Tutup Pintu bagi Warga Asing Dinilai Tepat Meski Terlambat
Dicky Budiman nilai langkah pemerintah menutup pintu masuk bagi WNA seluruh negara ke Indonesia pada 1-14 januari 2021, sudah tepat meski terlambat.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai, langkah pemerintah menutup pintu masuk bagi warga negara asing ( WNA) dari seluruh negara ke Indonesia pada 1-14 januari 2021, sudah tepat meski terlambat.
"Setidaknya larangan ini akan bermanfaat untuk tidak terlalu banyak kasus impor lebih baik telat daripada tidak," kata Dicky saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (29/12/2020).
Menurutnya, pengetatan warga asing masuk ke tanah air seharusya dilakukan sejak awal kasus Covid-19 terdeteksi di Indonesia, bukan hanya karena ada mutasi virus corona baru.
"Dari Januari (seharusnya) kalau misalnya saat ini ya walaupun dikatakan ada pengetatan, sebetulnya potensi sudah masuk," tutur Dicky.
Baca juga: Pemerintah Larang WNA Masuk RI, Komisi IX : Keputusan Tepat Cegah Varian Baru Covid-19
Baca juga: Ada Varian Baru Covid, WNA Dilarang Masuk Indonesia, kecuali Pejabat Setingkat Menteri
Baca juga: Alasan Pemerintah Larang WNA Masuk Indonesia 1-14 Januari 2021
Meski demikian, Dicky mengapresiasi respon Indonesia untuk menangkal mutasi baru virus corona yang memiliki daya tular sangat cepat.
Untuk itu diharapkan, pemerintah dapat melanjutkan kebijakan tersebut dengan melakukan penguatan di pintu-pintu masuk kedatangan, menskrining ketat WNA dan WNI yang datang dari luar negeri.
"Tetap melakukan karantina sebetulnya ada atau tidak (mutasi virus). Lebih baik karantina selama dalam posisi pandemi ini bukan hanya karena adanya varian baru," ungkapnya.
Kedua, pemerintah juga diharapkan dapat menelusuri mutasi virus corona baru ini.
Caranya, pemerintah mengambil sample 2% atau 5% dari kasus positif di berbagai wilayah, seperti di Jawa atau di luar Jawa, Medan Sumatera Utara, Bali yang punya akses penerbangan aktif itu sama seperti Jakarta.
"Setidaknya 2 atau 5% kasus positifnya Covid-19 di periksa nah ini yang akan memberikan gambaran situasi kira-kira sudah masuk atau tidak (mutasi virus baru corona) itu yang harus dilakukan," jelas Dicky.