DFW Indonesia: Pemerintah Perlu Hentikan Jatuhnya Korban Awak Kapal Perikanan
Dari 40 pengaduan tersebut tercatat 103 korban awak kapal perikanan yang terjebak dalam praktik kerja yang tidak adil dan merugikan.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam kurun waktu Januari-Desember 2020, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia sebagai pengelola Fishers Center menerima 40 pengaduan korban awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di kapal ikan dalam dan luar negeri.
Dari 40 pengaduan tersebut tercatat 103 korban awak kapal perikanan yang terjebak dalam praktik kerja yang tidak adil dan merugikan.
"Melihat kondisi tersebut, pemerintah perlu secepatnya mengambil langkah dan kebijakan strategis untuk mencegah jatuhnya korban awak kapal perikanan," ujar Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, dalam keterangannya, Sabtu (9/1/2021).
Abdi mengatakan dari 40 pengaduan kasus tersebut 6,32% merupakan kasus luar negeri dan 36,8% adalah kasus awak kapal perikanan dalam negeri.
"Saat ini mayoritas pengaduan dilakukan oleh mereka yang bekerja di kapal ikan luar negeri atau pekerja perikanan migran," kata Abdi.
Hal tersebut, kata dia, mengindikasikan bahwa awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di kapal luar negeri sangat rentan mengalami masalah.
Baca juga: 9 ABK Indonesia dan 1 Kapten Kapal Ikan Taiwan Hilang di Tengah Pasifik
Adapun masalah yang sering diadukan oleh para pekerja perikanan antara lain terkait dengan gaji dan upah yang tidak dibayar atau dipotong, asuransi, serta kesehatan dan keselamatan kerja.
Abdi juga menilai pemerintah kurang responsif menyikapi kesemrawutan tata kelola awak kapal perikanan sehingga tidak bisa memberikan perlindungan maksimal kepada pekerja awak kapal perikanan.
“Sejumlah kebijakan perlindungan dalam status pending seperti Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pelaut migran dan pelaut perikanan serta rencana aksi nasional perlindungan awak kapal perikanan," ungkapnya.
"Kedua hal tersebut menjadi penting sebab akan menjawab sejumlah masalah awak kapal perikanan dengan pendekatan program yang holistik dan terintergrasi oleh kementerian dan lembaga," imbuh Abdi.
Sementara itu, Koordinator Program SAFE Seas Project Baso Hamdani menyampaikan perlunya pemenuhan aspek legalitas dan akreditasi perusahaan perekrut dan penempatan (manning agent) awak kapal perikanan.
“Saat ini terdapat puluhan manning agent yang melakukan perekrutan dan pengiriman awak kapal perikana ke Tiongkok dan negara lain tanpa memiliki perizinan berusaha sesuai ketentuan pemerintah,” kata Baso.
Menurutnya, hal ini disebabkan karena dualisme rezim perizinan perekrutan dan penempatan pekerja pelaut migran yaitu melalui Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja. Sehingga menyebabkan ketidakpastian berusaha dan ekonomi biaya tinggi bagi pelaku usaha (manning agent).
“Bagi pemerintah, kondisi ini berimplikasi bagi lemahnya pembinaan dan pengawasan bagi manning agent terutama yang tidak memiliki izin resmi tapi masih tetap bisa beroperasi” kata Baso.
“Kami menyarankan agar regulasi tentang hal ini segera didefinitifkan dengan mengeluarkan RPP tentang pelaut migran dan pelaut perikanan dan pemerintah dan melakukan akreditasi kepada perusahaan perekrut dan pengirim awak kapal perikanan keluar negeri,” tutup Baso.