MK Tolak Gugatan RCTI dan INews TV Terkait UU Penyiaran, Berikut Penjelasannya
Mahkamah menilai, gugatan yang diajukan RCTI dan iNews TV tidak berdasar menurut hukum.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang diajukan oleh PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) terkait Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran).
Mahkamah menilai, gugatan yang diajukan RCTI dan iNews TV tidak berdasar menurut hukum.
Selain itu, MK menilai konten YouTube di internet telah tunduk ke UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan sebaliknya.
"Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi amar putusan mengadili menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam siaran kanal YouTube Mahkamah Konstitusi, Kamis (14/1/2021).
Mahkamah juga menjelaskan, gugatan yang diajukan oleh RCTI dan iNews TV tidak berdasar seluruhnya.
Pihaknya juga menyebut, pengawasan konten over the top (OTT) bisa dilakukan melalui UU ITE, sedangkan sanksinya juga telah diatur UU ITE dan UU lain yang berkaitan dengan pelanggaran konten OTT.
"Justru apabila permohonan pemohon dikabulkan akan menimbulkan kerancuan antara layanan konvensional dengan layanan OTT," jelas hakim MK.
Sebagaimana diketahui, RCTI dan iNews TV selaku Pemohon melakukan pengujian materiil pasal 1 angka 2 UU Penyiaran.
Baca juga: MK Tolak Gugatan Rizal Ramli Soal Ambang Batas Pencalonan Presiden
"Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran," bunyi pasal 1 angka 2 UU Penyiaran.
Para Pemohon mendalilkan ketentuan pasal 1 angka 2 UU Penyiaran menimbulkan kerugian konstitusional karena menyebabkan perlakuan berbeda antara Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional dengan pihak pengguna layanan internet seperti (OTT) untuk melakukan aktivitas penyiaran.
Para Pemohon menilai definisi penyiaran sebagaimana bunyi pasal 1 ayat 2 menyebabkan pihak pengguna media internet untuk penyiaran, tidak terikat UU Penyiaran. Padahal pasal tersebut merupakan rule of the game dari penyelenggaraan penyiaran di Indonesia.