KPK Panggil Direktur PT Bhumi Prasaja di Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan CSRT
KPK periksa Direktur PT Bhumi Prasaja, Rasjid A Aladdin, untuk bersaksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan CSRT tahun 2015.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Direktur PT Bhumi Prasaja, Rasjid A Aladdin, untuk bersaksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT) pada Badan Informasi dan Geospasial (BIG) bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Tahun 2015.
"Yang bersangkutan akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka PRK (Priyadi Kardono, Kepala BIG tahun 2014-2016)," ujar Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangannya, Jumat (22/1/2021).
KPK telah menetapkan eks Kepala BIG tahun 2014-2016 Priyadi Kardono (PRK) dan mantan Kepala Pusat Pemanfaatan Teknologi Dirgantara LAPAN 2013-2015, Muchamad Muchlis (MUM) dalam kasus ini.
KPK pun telah menahan mereka berdua.
Priyadi dijebloskan ke Rutan KPK cabang Kavling C1 dan Muchlis di Rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur, Jakarta.
Baca juga: Kasus Korupsi Pengadaan Citra Satelit Resolusi Tinggi, KPK Periksa 5 Saksi
Perkara ini bermula pada 2015 saat BIG bekerja sama dengan Lapan dalam pengadaan CSRT. S
ejak awal, Priyadi dan Muchlis diterka sepakat untuk melakukan rekayasa yang bertentangan dengan aturan pengadaan barang dan jasa.
Sebelum proyek berjalan, telah diadakan beberapa pertemuan dan koordinasi yang intensif dengan pihak-pihak tertentu di Lapan dan perusahaan calon rekanan yang telah di tentukan sebelumnya, yaitu PT Ametis Indogeo Prakarsa (AIP) dan PT Bhumi Prasaja (BP), untuk membahas persiapan pengadaan CSRT.
Baca juga: KPK Ungkap Konstruksi Kasus Korupsi Pengadaan Citra Satelit yang Rugikan Negara Rp 179 Miliar
Atas perintah para tersangka, penyusunan dokumen Kerangka Acuan Kerja (KAK) sebagai dasar pelaksanaan CSRT langsung melibatkan PT AIP dan PT BP agar “mengunci” spesifikasi dari peralatan CSRT.
Untuk pembayaran kepada pihak rekanan, para tersangka diduga memerintahkan stafnya untuk melakukan pembayaran setiap termin tanpa dilengkapi dokumen administrasi serah terima, dan proses Quality Control (QC).
Diduga dalam proyek tersebut merugikan negara sekitar Rp179,1 miliar.
Atas perbuatannya, Priyadi dan Muchlis disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.