TII Jelaskan Penyebab Turunnya Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2020
Wawan Suyatmiko menjelaskan secara garis besar sejumlah penyebab turunnya skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Transparancy International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko menjelaskan secara garis besar sejumlah penyebab turunnya skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020.
Wawan mengatakan terdapat sembilan sumber data yang menjadi indikator terkait turunnya skor IPK Indonesia.
Pertama adalah Political Risk Service Corruption (PRS) yakni soal suap terkait dengan pelayanan publik.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Melorot, KPK: Bukan Hanya Beban Penegak Hukum
Kedua adalah IMD Business School World (IMD) Competitiveness Yearbook terkait dengan ada atau tidaknya penyuapan.
Ketiga adalah Global Insight Country Risk Ratings (GI) terkait dengan tingkat risiko individu atau perusahaan dalam menghadapi suap atau praktik korupsi lain.
Keempat, adalah World Economic Forum Executive (WEF) Opinion Survey terkait dengan penyuapan dan gratifikasi
Kelima, Bertelsmann Stiftung Transformation Index (BS) terkait dengan hukuman bagi pejabat publik yang melakukan praktik korupsi dan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi korupsi.
Keenam, Economist Intelligence Unit Country Risk Service (EIU) terkait akuntabilitas prosedur, keuangan negara yang disalahgunakan pejabat baik untuk pribadi maupun partai, atau penyalahgunaan kepentingan umum.
Ketujuh, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) terkait bagaimana masyarakat mengukur persoalan korupsi di negara tempat koresponden bekerja.
Baca juga: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Turun, ICW Kritik Pemerintah
Kedelapan, Varieties of Democracy Project terkait dengan korupsi politik.
Kesembilan, Rule of Law Index terkait bagaimana pemerintah menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi baik di tingkat eksekutif, yudikatif, legislatif, dan kepolisian.
Dari sembilan indikator tersebut, kata Wawan, dapat dibagi menjadi tiga klaster yakni ekonomi dan investasi, penegakan hukum, serta politik dan demokrasi.
Terkait dengan isu ekonomi dan investasi, kata Wawan, secara umum beberapa indikator penyusun CPI (IPK) yang berhubungan dengan sektor ekonomi, investasi, dan kemudahan berusaha mengalami stagnansi.
Bahkan, kata Wawan, mayoritasnya turun.
"Pada klaster kedua penegakan hukum, salah satu indikator penegakan hukum naik, World Justice Project Rule of Law Index (WJP), namun pada perbaikan kualitas layanan dengan hubungannya terhadap korupsi masih stagnan," kata Wawan saat Peluncuran Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2020 secara daring pada Kamis (28/1/2021).
Hal tersebut bisa dilihat di Imindikator Bertelsmann Stiftung Transformation Index (BS) dan juga Economist Intelligence Unit Country Risk Service (EIU).
"Yang penting diketahui bahwa indikator WJP adalah indikator yang selalu di bawah rata-rata komposit CPI (IPK) tiap tahunnya," kata Wawan.
Terkait soal politik dan demokrasi terutama sistem kepemiluan, kata Wawan, mengalami penurunan skor.
"Ini terlihat dari turunnya skor Varieties of Democracy. Hal ini berarti sektor politik masih rentan terhadap kejadian korupsi," kata Wawan.
Sebelumnya, berdasarkan hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 yang diluncurkan Transparency International Indonesia (TII) pada Kamis (28/1/2021), secara global skor IPK Indonesia turun tiga poin dari tahun lalu.
Wawan menjelaskan saat ini secara global Indonesia berada di peringkat 102 dengan skor 37.
Sedangkan pada tahun sebelumnya, kata Wawan, Indonesia berada di peringkat 85 dengan skor 40.
Wawan mengatakan negara yang mempunyai skor dan rangking sama dengan Indonesia adalah Gambia.
"CPI (IPK) Indonesia tahun 2020 ini kita berada pada skor 37 dengan rangking 102 dan skor ini turun tiga poin dari tahun 2019 lalu. Tahun 2019 lalu kita berada pada skor 40 dan rangking 85," kata Wawan.