Pajak Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer Makin Memberatkan Rakyat di Saat Pandemi
Meskipun pemerintah berdalih bahwa pemungutan pajak hanya akan menyasar sampai distributor tingkat dua, namun tetap akan berdampak pada konsumen.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 6/PMK.03/2021 sebagai dasar penarikan pajak PPN dan PPh atas penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan Vlvoucer.
Dalam Pasal 21 menjelaskan bahwa aturan tersebut akan berlaku efektif pada 1 Februari 2021.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Heri Gunawan menegaskan hendaknya peraturan tersebut dapat ditinjau ulang.
Sebab, rakyat masih dibelit kesulitan menghadapi Pandemi Covid-19.
Meskipun pada 2020 dan 2021 pemerintah mengucurkan stimulus, namun tidak semua rakyat menikmatinya.
Apalagi saat ini pemerintah masih memberlakukan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Pulau Jawa dan Bali dan juga Pemprov Jakarta masih memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di Propinsi DKI Jakarta.
Baca juga: Menkeu Sri Mulyani Tanggapi soal Pajak Pulsa dan Token Listrik, Sebut Tak Berpengaruh pada Harga
Baca juga: INDEF Nilai Kebijakan Pemerintah terkait Pajak Penjualan Pulsa Kontraproduktif di Era Pandemi Corona
"Masyarakat pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli pulsa dan token listrik dalam rangka (Work From Home) WFH dan belajar daring. Bila pemerintah tiba-tiba memajakinya, itu sama saja pemerintah makin membebani rakyat di saat pandemi," kata Heri kepada wartawan, Minggu (31/1/2021).
Pria yang akrab disapa Hergun ini memahami bahwa pendapatan pajak anjlok di tahun 2020.
Realisasi sementara pajak 2020 hanya mencapai Rp 1.070 triliun meleset dari target APBN-Perpres 72/2020 sebesar Rp 1.198,8 trilun atau hanya terealisasi 89,3 persen saja.
Namun bukan berarti hal tersebut bisa menjadi dasar untuk memungut pajak dari pulsa, kartu perdana, token dan voucer.
Meskipun pemerintah berdalih bahwa pemungutan pajak tersebut hanya akan menyasar sampai distributor tingkat dua, namun tetap saja dalam praktiknya akan berdampak pada konsumen.
Saat ini di tingkat eceran terbawah, distributor memungut harga lebih Rp 1.000 hingga Rp 2000.
Misalnya membeli pulsa Rp 10.000, maka konsumen akan dikenakan harga Rp 12.000.
Baca juga: Rizal Ramli Kritik Sri Mulyani: Pajak Pulsa Bagian dari Dampak Utang dengan Bunga Sangat Tinggi
Baca juga: XL Axiata Masih Pelajari Aturan Baru terkait Pajak Penjualan Pulsa
"Kita tidak ingin nanti setelah pemberlakuan pemungutan pajak, konsumen akan membayar Rp 13.000 untuk pembelian pulsa Rp 10.000. Marginnya makin lebar. Ini sangat memberatkan rakyat," ujarnya.
Ketua DPP Partai Gerindra ini menambahkan, pemungutan pajak terhadap token listrik ini sangat lucu.
Perlu diingat bahwa pemerintah lah yang memaksa rakyat bermigrasi dari model pembayaran pascabayar ke model prabayar atau token.
Saat ini mayoritas konsumen PLN sudah menggunakan model prabayar.
Namun bila saat ini tiba-tiba pembelian token akan dipungut pajak itu artinya pemerintah telah menjebak rakyat.
"Pemerintah semestinya berterima kasih kepada rakyat yang sudah berkontribusi terhadap pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi selama Pandemi. Sektor Infokom mampu menjaga pertumbuhan positif di saat sektor-sektor lain mengalami konstraksi," ucapnya.