33,3 Persen Laki-laki Alami Kekerasan Seksual Lho! RUU PKS Didesak Segera Disahkan
Kekerasan seksual ternyata tidak hanya terjadi kepada kaum perempuan. Laki-laki juga kerap menjadi korban kekerasan seksual.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kekerasan seksual ternyata tidak hanya terjadi kepada kaum perempuan. Laki-laki juga kerap menjadi korban kekerasan seksual.
Berdasarkan studi kuantitatif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) ada sebanyak 33,3 persen laki-laki yang mengalami kekerasan seksual.
Sementara itu sebanyak 66,7 persen perempuan mengalami kekerasan seksual.
Atas adanya studi tersebut makan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) perlu segera disahkan atau diberlakukan.
"Kenapa RUU PKS ini menjadi penting? Karena kita bisa lihat bahwa korban dari kekerasan seksual ternyata tidak hanya dari perempuan. 33,3 persen lebih adalah laki-laki," kata Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar dalam Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU) bersama Badan Legislasi DPR RI, Selasa(2/2).
Kendati presentasenya lebih sedikit, kata Dio pada faktanya laki-laki juga menjadi korban kekerasan seksual. Hanya saja lanjutnya, laki-laki masih mendapatkan stigma bahwa laki-laki kuat sehingga malu untuk melaporkan telah mengalami kekerasan seksual.
Baca juga: IFLC Dukung RUU P-KS Jadi Undang-Undang Agar Berikan Keadilan Bagi Korban Kekerasan Seksual
"Laki-laki kenapa tidak pernah ada kasusnya? Karena mereka lebih takut untuk melapor. Karena ada stereotipe bahwa laki-laki itu kuat, dan malu ketika mereka melaporkan," ujarnya.
Oleh karena itu, Dio menilai bahwa RUU PKS menjadi penting untuk melindungi laki-laki dan perempuan dari tindakan kekerasan seksual.
Dio juga mengungkap alasan lain mengapa RUU PKS perlu segera diberlakukan.
Sebab, menurut data yang sama mengatakan, RUU PKS mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat.
Baca juga: Fakta-fakta Predator Seksual di Wonogiri, Mengaku Pernah jadi Korban dan Ingin Balas Dendam
Namun, berdasarkan data tersebut masih banyak responden yang belum memahami isi dari RUU PKS.
"Dengan 2.200 responden ini di lingkup 34 provinsi di Indonesia. Dari temuan kami sendiri, kami melihat masyarakat Indonesia setuju dengan adanya RUU PKS.
Akan tetapi banyak alasan yang tidak disetujui oleh masyarakat karena masih banyak yang belum memahami apa sih konteks RUU PKS," kata Dio.
Data tersebut menunjukkan 70,9 persen responden setuju untuk RUU PKS segera diberlakukan. Sementara, 29,1 persen tidak setuju atau menolak RUU PKS diberlakukan.
Baca juga: Pimpinan Komisi VIII Sebut Kebiri Kimia Dapat Kurangi Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Dari 70,9 persen yang menyetujui RUU PKS disahkan, terdapat 57,2 persen yang setuju, tetapi belum pernah mendengar atau mengetahui isi RUU PKS.
Sementara itu, dari 29,1 persen yang menolak atau tidak setuju, 17,1 persennya menganggap RUU ini kontroversi dan bertentangan dengan agama.
Lalu, dari yang menolak tersebut, 20 persen lainnya masih belum memahami isi dari RUU PKS itu sendiri.
"Jadi ada salah persepsi dalam diskursus publik di mana mereka masih belum memahami secara keseluruhan dan adanya asumsi-asumsi atau pemberitaan yang sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang dibahas dalam RUU PKS.
Misalnya bahwa ini akan bertentangan dengan nilai-nilai agama, ini akan mendukung LGBT," ujarnya.
Dio menilai, penolakan terhadap RUU PKS selama ini timbul dari asumsi-asumsi publik yang sebenarnya salah dipersepsikan.
Menurut dia, hal ini karena komunikasi publik yang benar tentang RUU PKS tidak tersampaikan ke masyarakat. Desakan agar RUU PKS segera disahkan datang juga dari Komisi Nasional Perempuan.
Mereka sangat mendukung upaya-upaya dari sejumlah organisasi agar RUU tersebut segera disahkan.
Komnas Perempuan pun meminta agar aturan tersebut seger dibahas di Badan Legislasi DPR.
"Pada kesempatan ini kami menyampaikan amanat dari Komnas Perempuan, sejumlah organisasi, dan akademisi. Mohon agar pembahasan RUU PKS di Baleg," kata Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah.
Menurut dia, RUU PKS saat ini justru berada di urutan ke-17 dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Selain itu, Maria juga mengaku belum mengetahui kapan RUU PKS akan dibahas oleh DPR. Maria tak begitu banyak memberikan tanggapan dalam rapat tersebut.
"Kalau kami menjelaskan alasannya, naskah akademik, poin-poinnya saya kira sudah disampaikan teman-teman sebelumnya," ujar dia.
Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI Diah Pitaloka mengatakan memang RUU PKS dinilainya sangat penting.
Oleh karena itu, menurut politisi PDI-Perjuangan tersebut, perlu pengkajian lebih dalam menyangkut paradigma, persoalan kultural hingga teknis pemulihan bagi para korban atau penyintas kekerasan seksual dalam RUU PKS.
Anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI Luluk Nur Hamidah juga menyatakan pendapat senada.
Kasus kekerasan seksual sudah terjadi sedemikian rupa saat ini, agar tidak terus berulang maka negara harus hadir dalam melindungi masyarakatnya, baik dari segi pemulihan korban maupun penegakan hukum kepada pelaku kejahatan.
“Kami paham bahwa korban kekerasan itu punya kompleksitas luar biasa, tidak semua punya kekuatan melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum. Tak sedikit dari mereka para penyintas mendapatkan perlakuan kekerasan secara berulang,” ujar Luluk.
Ia pun mencontohkan betapa negara-negara maju sangat perhatian dan fokus terhadap kasus kekerasan seksual.
Bahkan anggaran penyelidikan dan penuntutan kasus kekerasan seksual jumlahnya sangat besar.
Karena itu ia berharap pemerintah Indonesia juga bersikap seperti negara-negara maju tersebut.
“Semoga yang kita perjuangkan ini punya basis spirit dan perspektif terkait kemanusiaan dan hak asasi yang luar biasa. Mungkin belum ada UU yang spiritnya sekuat RUU ini.
Hal itu menandakan, regulasi ini ke depannya bukan untuk melindungi perempuan saja tapi untuk semua warga negara,” kata Politikus PKB ini.(Tribun Network/mam/kps/wly)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.