Pesan Menkumham untuk Media Mainstream di Tengah Disrupsi Media Sosial
Yasonna yang menjadi keynote speaker, meminta media mainstream untuk tetap menjaga kualitas pemberitaan di tengah tantangan teknologi di era disrupsi
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly memberikan pesan kepada insan pers dalam diskusi bertajuk “Regulasi Negara dalam Menjaga Keberlangsungan Media Mainstream di Era Disrupsi Medsos,” Kamis (4/2/2021).
Yasonna yang menjadi keynote speaker, meminta media mainstream untuk tetap menjaga kualitas pemberitaan di tengah tantangan teknologi di era disrupsi media sosial.
Hal itu disampaikan Yasonna dalam sambutannya pada diskusi bertajuk “Regulasi Negara dalam Menjaga Keberlangsungan Media Mainstream di Era Disrupsi Medsos,” Jakarta, Kamis (4/2/2021).
Diskusi ini mengawali rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) 2021 dan digelar bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM seperti disiarkan dalam Channel Youtube Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementerian Hukum dan HAM RI (PUSDATIN Oke).
Yasonna tegaskan, pemerintah akan senantiasa mendukung Dewan Pers dan media mainstream untuk mempertahankan kualitas pemberitaannya.
“Di tengah disrupsi media sosial, Dewan Pers mungkin perlu membuat semacam standar bagi kualitas media kita demi menjaga kualitas dan melawan hoaks," ujar Yasonna.
Terkait disrupsi media sosial, Menkumham mengatakan itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Dunia juga tengah menghadapi gonjang-ganjing akibat disrupsi media sosial. Kehadiran media sosial menjadi hal yang sangat diperhatikan pemerintah.
"Dari total pengguna internet di Indonesia, 170 juta di antaranya pengguna media sosial ini. Pemerintah negara-negara di dunia pusing mengelola media sosial. Kami pernah bertemu antarpemimpin negara di Australia salah satunya membahas perkembangan medsos karena terkait terorisme," ujarnya.
Menurut Yasonna, pengguna media sosial di Indonesia sangat dahsyat memengaruhi masyarakat. Untuk itu pemerintah harus berupaya menyiasatinya ke arah yang lebih baik.
Apalagi kata dia, jumlah penduduk sebanyak 270 juta jiwa dengan pengguna handphone sebesar 378 juta.
Baca juga: PWI: Selain Alami Krisis Ekonomi, Media Massa Sedang Krisis Akut Akibat Disrupsi Media Sosial
"Hal ini menunjukkan netizen Indonesia sangat besar dan dipastikan terus meningkat terlebih karena pandemi. Angka tadi menghasilkan keuntungan, tapi bisa pula melahirkan kerugian seperti yang dialami media mainstream," jelasnya.
Lebih jauh terkait disrupsi media sosial yang mengancam media mainstream, Yassona menilai internet dapat memberi keuntungan, sekaligus ancaman kebangkrutan. Hal ini pun perlu menjadi perhatian.
"Tidak hanya media, tapi kita juga melihat pasar-pasar, market tradisional mengalami disrupsi yang perlu disikapi," ucapnya.
Yasonna juga melihat selain media sosial, tantangan bagi media maintream adalah mudahnya orang membuat media digital.
Apalagi regulasinya belum ada yang mengatur dengan baik. Yasonna menilai ini akan menjadi persaingan yang tidak berimbang. Sejauh ini, Rancangan Undang-Undang Konvergensi Teknologi tidak masuk prolegnas 2021.
Untuk itu Yasonna mendorong media mainstream untuk menyesuaikan dirinya dengan kondisi saat ini dengan melakukan konvergensi teknologi.
“Media mainstream juga harus membangun media digital dan secara kreatif mencari terobosan-terobosan untuk mensiasati kondisi yang ada,” jelasnya.
“Memang media cetak, media mainstream harus menyesuaikan dirinya dengan kondisi ini. Diharapkan dengan adanya konvergensi, maka akan mampu melakukan banyak hal,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal Sembiring Depari mengatakan media massa sedang mengalami krisis akut akibat disrupsi media sosial.
“Media nasional sekarang, ini selain mengalami krisis ekonomi, dia juga mengalami krisis akut akibat disrupsi media sosial,” ujar Atal Depari.
Dia menjelaskan disrupsi digital muncul bersamaan dengan semakin kuatnya penetrasi bisnis media sosial melalui mesin pencari dan situs e-commerce yang memberi guncangan yang dahsyat kepada media konvensional atau media mainstream.
Akibatnya, kata dia, sejumlah media sudah rontok.
“Dan kalau keadaan ekonomi kita masih seperti ini, krisis ini akan berlanjut. Saya tidak membayangkan, apakah masih ada daya kemampuan untuk hidup lebih lama lagi,” ucapnya.
“Salah satu yang bisa kita harapkan untuk menjadi penolong adalah kerja sama kerjasama yang diatur misalnya, dengan Google dengan Facebook. Perlu dirumuskan aturan main yang lebih transparan, adil dan menjamin kesetaraan antara platform digital dan penerbit media,” jelasnya.
Untuk itu kata dia, dibutuhkan regulasi yang memungkinkan mekanisme koeksistensi antara media lama dan baru yang saling membutuhkan.
“Rasanya tidak cukup kita bicara solusinya dengan konvergensi media tapi diperkuat payung hukum yang tegas,” jelasnya.
Mengapa perlu hadir dengan regulasi?
Dia menjelaskan perlunya negara menerbitkan regulasi ini untuk menjaga keberlangsungan media mainstream.(*)