KPK Klarifikasi Identitas Saksi Kasus Suap Benur Edhy Prabowo
"Yang diduga dipergunakan untuk pengurusan akta hibah tanah di Cianjur dari seseorang kepada tersangka EP (Edhy Prabowo)," ujar Ali.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklarifikasi identitas salah satu saksi kasus dugaan suap izin ekspor benih bening lobster atau benur yang menjerat eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Pada jadwal pemeriksaan KPK Senin (8/2/2021), tertulis saksi bernama H Alvin Nugraha dipanggil untuk tersangka Edhy Prabowo. Dalam jadwal itu tertulis H Alvin Nugraha sebagai Direktur Pemasaran PT Berdikari (Persero).
Baca juga: KPK Periksa Enam Saksi Terkait Kasus Suap Benur Edhy Prabowo, Salah Satunya PNS Habryin Yake
"Setelah kami cek kembali identitas dari saksi H. Alvin Nugraha, terdapat kekeliruan pencantuman profesi yang bersangkutan sebagaimana jadwal pemeriksaan hari Senin (8/2/2021)," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri melalui keterangannya, Rabu (10/2/2021).
"Dimana sebelumnya tercantum sebagai Direktur Pemasaran PT Berdikari dan yang benar saksi berprofesi sebagai Notaris," ia menjelaskan.
Saksi H Alvin Nugraha ini sendiri, kata Ali, telah diperiksa tim penyidik KPK terkait aliran uang dari rekening penampungan dugaan suap perizinan dan pengiriman ekspor benur.
"Yang diduga dipergunakan untuk pengurusan akta hibah tanah di Cianjur dari seseorang kepada tersangka EP (Edhy Prabowo)," ujar Ali.
Dalam perkara ini KPK menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.
Baca juga: Geledah Sebuah Tempat Terkait Kasus Suap Benur Edhy Prabowo, KPK Nihil Hasil
Enam orang sebagai penerima suap yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo; stafsus Menteri KP, Safri dan Andreau Pribadi Misanta; sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; dan staf istri Menteri KP, Ainul Faqih.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito.
Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam kasusnya, Edhy Prabowo diduga melalui staf khususnya mengarahkan para calon eksportir untuk menggunakan PT ACK bila ingin melakukan ekspor. Salah satunya adalah perusahaan yang dipimpin Suharjito.
Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy. PT ACK diduga memonopoli bisnis kargo ekspor benur atas restu Edhy Prabowo dengan tarif Rp1.800 per ekor.
Dalam menjalankan monopoli bisnis kargo tersebut, PT ACK menggunakan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sebagai operator lapangan pengiriman benur ke luar negeri. Para calon eksportir kemudian diduga menyetor sejumlah uang ke rekening perusahaan itu agar bisa ekspor.
Uang yang terkumpul diduga digunakan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosyati Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020. Sekitar Rp750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy.
Edhy diduga menerima uang Rp3,4 miliar melalui kartu ATM yang dipegang staf istrinya. Selain itu, ia juga diduga pernah menerima 100 ribu dolar AS yang diduga terkait suap. Adapun total uang dalam rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp9,8 miliar.