Survei: 30 Persen Sikap Toleransi Mahasiswa di Kampus Rendah
30 persen sikap toleransi mahasiswa di kampus masih tergolong sangat rendah hingga rendah.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Indonesia (UIN) Jakarta merilis hasil survei terkait gambaran toleransi beragama pada mahasiswa, Senin (1/3/2021).
Pada acara yang diselenggarakan secara virtual itu, dari hasil survei tersebut ditemukan bahwa sekiranya 30 persen sikap toleransi mahasiswa di kampus masih tergolong sangat rendah hingga rendah.
Adapun rinciannya sikap toleransi mahasiswa 5,27 persen sangat rendah, dan 24,89 persen tergolong rendah.
Sementara itu, sikap toleransi mahasiswa 49,83 persen tergolong tinggi, dan 20 persen tergolong sangat tinggi.
Baca juga: Apa Itu Toleransi? Berikut Pengertian, Prinsip, Fungsi, dan Indikatornya
Peneliti PPIM UIN Jakarta, Sirojuddin Arif mengatakan topik pendidikan menjadi topik besar dalam penelitian tentang toleransi sejak awal hal ini mengemuka di awal tahun 1950.
Namun ketika berbicara hasil terhadap pendidikan hingga saat ini menurutnya masih tidak inklusif.
“Ada yang bilang pendidikan berpengaruh positif terhadap toleransi, dalam artian semakin tinggi pendidikan maka orang makin toleran. Tapi beberapa penelitian lain menyatakan pendidikan itu tidak atau sedikit dampaknya terhadap toleransi,” kata
Menurut ia dan tim peneliti, secara metodologis ada sedikit kekurangan, karena dampak pendidikan seringkali diukur oleh lamanya orang sekolah, dengan asumsi semakin lama, maka semakin tinggi sekolahnya yang mencakup pendidikan tinggi.
Fokus kepada pendidikan tinggi terkait toleransi menurutnya tidak mendapat perhatian yang wajar, sehingga hasilnya bervariatif.
Karena banyak yang tidak melihat lebih lanjut apa yang terjadi di pendidikan tinggi terkait toleransi.
“Maka dari itu kami memutuskan untuk membuka blackbox dari pendidikan tinggi itu sendiri. Mulai dari dosen hingga iklim sosial hingga berbagai kegiatan yang diikuti mahasiswa,” ujarnya.
Belajar dari teori yang telah ada, Sirojuddin mengatakan berdasarkan dari teori social identity diterangkan bahwa semakin orang punya identitas sosial, maka kelompoknya makin besar.
Sehingga orang tersebut akan mengutamakan ikatan pada kelompoknya dan berimplikasi negatif pada kelompok lain.
“Dari kontak sosial kita juga belajar bahwa semakin seseorang memiliki banyak kontak dengan orang luar, semakin orang membuka diri, maka dia akan semakin bisa menerima kelompok luar,” lanjutnya.
Beberapa penelitian tentang trust dijelaskannya bahwa semakin orang lebih sering bergaul dengan kelompok sejenis, bisa dalam artian yang beragam, maka yang terbentung adalah bonding capital yang akan kembali pada social identity.
“Social identity yang memiliki ikatan yang kuat dengan internal, tapi dengan kelompok luar akan semakin lemah,” ujarnya.
Maka rekomendasi yang disarankan peneliti PPIM UIN Jakarta adalah agar kampus memperkaya keberagaman pengalaman sosial keagamaan dan interaksi lintas kelompok agama di mahasiswa.
Kampus juga diharapkan untuk memperbaiki iklim sosial dengan meningkatkan toleransi beragama di kalangan dosen dan agar memberikan penghargaan terhadap minoritas.
Termasuk dengan memperkuat program peningkatan toleransi sesuai dengan kekhasan konteks sosial kampus dan kondisi demografi mahasiswa.
Kampus juga diharapkan mengarusutamakan kebijakan berdasarkan keragaman sosial dengan menyediakan data yang terpilah secara kelompok sosial keagamaan.