Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

PKS Kritik Pencabutan RUU Pemilu dari Prolegnas 2021

Terdapat beberapa catatan kritis Fraksi PKS terkait keputusan pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR yang sepakat mengeluarkan RUU

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hendra Gunawan
zoom-in PKS Kritik Pencabutan RUU Pemilu dari Prolegnas 2021
DPR RI
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bukhori Yusuf. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, menyayangkan pencabutan RUU tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

Terdapat beberapa catatan kritis Fraksi PKS terkait keputusan pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR yang sepakat mengeluarkan RUU tersebut dari prolegnas prioritas 2021.

Pertama, kondisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan yang diametral berpotensi melemahkan kesatuan NKRI dan kerukunan masyarakat.

Menurutnya, sistem Presidential Treshold dengan ambang batas tinggi terbukti tidak sesuai dengan original intent atau maksud asli dari UUD 1945.

Baca juga: Baleg Bersama Pemerintah Cabut RUU Pemilu dari Prolegnas Prioritas 2021

Sebab, sistem ini menghalangi kesempatan kita untuk memilih kader terbaik bangsa karena pada akhirnya kontestasi terbatas pada 2 paslon semata,” paparnya.

"Konsekuensinya, pembelahan sosial rentan terjadi. Bahkan, nuansa ketegangan itu masih bisa kita rasakan sampai sekarang sebagai ekses dari Pemilu 2019 silam.

Berita Rekomendasi

Oleh karena itu, dibutuhkan penyempurnaan mendasar terhadap sistem pemilu eksisting melalui revisi karena secara sosiologis sangat tidak sehat untuk memelihara iklim kerukunan bangsa," kata Bukhori melalui keterangannya, Rabu (10/3/2021).

Kedua, Bukhori memandang sistem pemilu juga turut menentukan desain kepemimpinan nasional.

Baca juga: Tutup Rampinas, Airlangga Tegaskan Golkar Tolak Revisi UU Pemilu 

Dia menjelaskan, penurunan presidential treshold melalui revisi UU Pemilu akan membuka ruang lebih luas untuk melahirkan banyak pemimpin segar.

Hal ini senada dengan kehendak masyarakat yang menginginkan pemimpin yang berkualitas dan demokratis.

“Kita memiliki banyak tokoh negarawan yang layak menjadi pemimpin di tingkat nasional. Mulai dari ulama, cendekiawan, kepala daerah. Kami ingin mendorong demokratisasi yang lebih substantif dalam proses pemilihan Presiden untuk memutus rantai oligarki, salah satunya melalui ikhtiar revisi ini,” ujarnya.

Baca juga: Partai Demokrat Belum Berubah Sikap terkait Revisi Undang-Undang Pemilu

"Pemilu dengan sistem yang lebih inklusif memungkinkan setiap lapisan bangsa berhak untuk bisa dipilih sebagai presiden," imbuhnya.

Lebih lanjut, Ketua DPP PKS ini mencemaskan penerapan UU Pemilu eksisting akan memunculkan banyak kursi kosong di level kepemimpinan daerah ketika pilkada digelar serentak pada 2024.

Dengan demikian, pilkada ini turut membawa konsekuensi politis berupa kekosongan legitimasi kepala daerah di sebanyak 271 daerah akibat masa bakti kepala daerah eksisting yang akan selesai pada 2022 maupun 2023.

“Masa kepemimpinan para kepala daerah eksisting akan selesai masa jabatannya pada rentang 2022-2023. Artinya, akan ada krisis legitimasi selama kurun 1 sampai 2 tahun karena yang memimpin adalah Pelaksana Tugas (Plt) kepala daerah seraya menanti kepala daerah terpilih hasil pemilihan serentak nasional tahun 2024,” ujarnya.

Padahal, lanjut Bukhori, kewenangan dari Plt ini lebih terbatas, khususnya dalam mengambil keputusan atau tindakan strategis.

Sebab, mereka tidak memiliki keleluasaan mengambil langkah cepat apabila harus dihadapkan dalam situasi kritis.

Sebagai informasi, akan ada sekitar 271 daerah yang dijabat oleh Pelaksana Tugas (Plt) pada rentang 2022-2023, apabila pemilu serentak dilaksanakan 2024. Rinciannya; 101 daerah hasil pilkada 2017. Kemudian, 171 daerah hasil pilkada 2018.

Di sisi lain, batasan-batasan kewenangan pelaksana tugas di pemerintahan juga diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP). Pada ayat (4) Pasal 14 UU No. 30/2014 disebutkan;

“Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas