Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ombudsman RI Siap Cegah Praktik Maladministrasi di Sektor Kehutanan

Hery Susanto mengatakan Ombudsman RI berperan dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik khususnya di sektor kehutanan.

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Sanusi
zoom-in Ombudsman RI Siap Cegah Praktik Maladministrasi di Sektor Kehutanan
Serambi Indonesia
Ilustrasi 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ombudsman RI mengatakan banyak menerima laporan pengaduan masyarakat terkait kasus Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) badan usaha, tumpang tindih kawasan hutan dengan Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit, peternakan, konflik tenurial (lahan) antara masyarakat dengan pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI).

Terutama, terkait permohonan pemasangan jaringan listrik dalam kawasan hutan oleh masyarakat serta berbagai macam permasalahanlainnya.

Baca juga: Sah, Empat Pemain Timnas U-23 Indonesia di Incheon 2014 Bereuni di Persib Bandung

Demikian diungkap dalam diskusi secara virtual Ombudsman RI merespons Regulasi Sektor Kehutanan Pasca Berlakunya Undang-Undang Cipta kerja (Ciptaker) dengan menghadirkan narasumber Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) San Afri Awan pada Jumat (12/3/2021).

Turut hadir dalam diskusi itu Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto.

Diskusi ini merupakan tindak lanjut dari berlakukanya UU CiptaKerja terutama disektor kehutanan.

Baca juga: Bikin Rekor Pribadi di Tes Pramusim, Valentino Rossi: Saya Kian Dekat dengan Pebalap Teratas

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja banyak mengubah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Berita Rekomendasi

Dalam sambutannya, Hery Susanto mengatakan Ombudsman RI berperan dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik khususnya di sektor kehutanan.

Dimana Ombudsman RI secara aktif melakukan kegiatan pencegahan maladministrasi dan praktek korupsi dalam pelayanan publik.

“Kami concern (memberikan perhatian) untuk melakukan kajian terhadap regulasi yang rawan praktik maladministrasi dan korupsi. Kami pun siap menerima dan menindaklanjuti laporan pengaduan masyarakat,” kata Hery Susanto.

Baca juga: ICW: Korupsi Tetap Tinggi di Negara yang Terapkan Hukuman Mati Koruptor

San Afri Awang mengatakan bahwa keberadaan UU Cipta Kerja disektor kehutanan untuk memperkuat keberadaan UU Kehutanan yang sebelumnya sudah ada.

Prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan, luas kawasan hutan yang harus dipertahankan, tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, pemanfaatan hutan, perhutanan sosial, pembinaan dan pengelolaan hasil hutan, pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak(PNPB)serta pemanfaatan dan perlindungan hutan.

Ia mengingatkan hal-hal yang rawan terjadinya maladministrasi, misalnya dalam Pasal 16 ayat (3) PP Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan sebagai turunan dari UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Pengukuhan Kawasan Hutan disebutkan bahwa dalam proses penyelenggaran pengukuhan kawasan hutan harus dilaksanakan secara transparan dan dukungan informasi yang jelas.

“Pasal 16 ayat (4) PP tersebut prioritaskan percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan pada daerah strategis. Dalam konteks ini sering terjadi ketidakpastian hukum hutan adat, lalai, sewenang-wenang, dan ketidak pastian hukum pengadaan lahan untuk food estate (tumpang tindih perizinan),” kata San Afri Awang.

Pihaknya mencatat, area yang rawan terjadinya praktik maladministrasi dan korupsi seperti perizinan disektor kehutanan produksi dan penggunaan kawasan, pelepasan kawasan hutan secara parsial,dan pelepasan kawasan keterlanjuran melalui sanksi dan mekanisme penarikan Penarikan Negara Bukan Pajak (PNBP).

“Untuk mencegah praktik korupsi disektor kehutanan maka harus diperjelas mekanisme dan pengawasan terhadap perijinan berusaha, pelepasan kawasan dan mekanisme penarikan PNBP,” katanya.

San Safri Awang mengharapkan agar Ombudsman RI memfokuskan kajian pada mekanisme pembayaran denda.

Misalnya, beberapa kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang telah diputuskan pengadilan, pembayaran sanksi denda dariperusahaan tertentu dan pemulihan kawasan hutan.

“Jika dendanya besar, perusahaan tidak mampu membayar langsung, maka perusahaan harus bersedia membayar dengan mencicil selama 20-25 tahun (dendadiatas 100 milyar rupiah).Tetapi dalam PP No 59 Tahun 1998 Tentang Tarif Jasa Jenis Penerimaan Negara," jelasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas