RUU PPSK Masuk Prolegnas 2021, PKS Berikan Catatan
RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) telah disepakati untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) telah disepakati untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021.
RUU ini akan mengatur hal-hal yang komprehensif terkait reformasi, pengembangan, dan penguatan sektor keuangan sebagai penyempurnaan regulasi, penataan kewenangan, penguatan koordinasi, dan mekanisme penanganan sektor jasa keuangan.
Aturan tersebut akan merevisi sejumlah undang-undang terkait sektor keuangan, seperti UU Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Baca juga: Cadangan Beras Pemerintah Menipis, DPR Minta Bulog Maksimalkan Serapan Gabahnya
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, produk hukum tersebut akan meliputi pengaturan atau pembaruan regulasi di sektor pasar modal, perbankan, lembaga non bank, lembaga keuangan lainnya hingga sektor keuangan digital.
Menanggapi kehadiran RUU PPSK ini, anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PKS Anis Byarwati menyatakan pada dasarnya RUU PPSK tidak urgen untuk saat ini.
Dia pun membeberkan sejumlah alasannya.
Baca juga: Anggota Komisi VI DPR Rapsel Ali Usul ke Pertamina, Libatkan Pesantren Jadi Mitra Pertashop
Pertama, konten dari RUU PPSK lebih kepada upaya-upaya menggerogoti independensi bank sentral.
“Kami pikir ini sangat berbahaya karena independensi tersebut menjadi syarat suatu kebijakan menjadi kredibel di pasar, baik di dalam maupun di luar negeri,” ujar Anis, kepada wartawan, Jumat (19/3/2021).
Dampak lanjutan dari kotak-katik independensi bank sentral dapat berujung pada berbagai hal terutama depresiasi rupiah.
Anis menambahkan, perlu diingat juga bahwa depresiasi rupiah yang mendalam berdampak buruk bagi perekonomian baik bagi pelaku industri maupun Pemerintah (dalam bentuk lonjakan cicilan utang maupun bunganya).
Baca juga: Fakta-fakta Oknum Anggota DPRD Selingkuhi Istri Pelaut, Masuk Rumah Seperti Maling, Lewat Jendela
Selain itu, kerentanan depresiasi rupiah bakal meningkat karena masih tingginya porsi kepemilikan aset asing di dalam negeri baik dari pasar saham (sekitar 45 persen) maupun pasar obligasi (sekitar 30 persen).
“Jadi, tolong jangan gegabah soal RUU ini,” jelas dia.
Kedua, Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) ini melihat persoalan yang dihadapi oleh sektor keuangan Indonesia saat ini lebih kepada rendahnya peranan sektor keuangan terhadap perekonomian nasional.