Pemerintah Diminta Terapkan Safeguards Barang Jadi
Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia (APIKMI) mengeluhkan iklim usaha para pelaku industri kecil menengah (IKM).
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia (APIKMI) mengeluhkan iklim usaha para pelaku industri kecil menengah (IKM).
Sebab, kondisi mereka semakin tidak menentu di tengah Pandemi Covid-19, terutama di sektor garment dan konveksi.
Sekjen APIKMI Widia Erlangga mengatakan bahwa terdapat dua hal utama yang membuat iklim usaha tersebut tidak menentu.
Pertama, yakni kelangkaan bahan baku, baik yang selama ini dipasok oleh bahan baku impor maupun bahan baku yang di produksi oleh industri tekstil dan produk tekstil (TPT) lokal.
Menurutnya safeguards atau bea pengamanan bahan baku sesuai aturan Pemerintah yang dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.161/PMK 010/2019, PMK No.162/PMK. 010/2019 dan PMK No.163/ PMK.010/2019 terkait Pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS)/Safeguards terhadap impor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada November 2019 yang lalu, berimbas pada kelangkaan bahan baku impor dipasar domestik.
Baca juga: BLT UMKM akan Dibuka Lagi, Berikut Syarat dan Cara Mendapatkannya, Siapkan KTP hingga Nomor Telepon
Baca juga: Kominfo Catat Tiga Juta Lebih Sektor UMKM Masuk ke Ruang Digital
"Sedangkan kapasitas produksi dari para industri tekstil lokal saat ini pun menurun secara signifikan dan tidak dapat memenuhi demand atau permintaan di pasar domestik," ujarnya, Rabu, (24/3/2021).
Faktor kedua yang membuat iklim usaha tidak menentu yakni gempuran barang jadi impor dari China dan Thailand yang saat ini membanjiri pasar domestik.
Baca juga: Komitmen Pulihkan Ekonomi Nasional, Komisi XI: BI Perlu Siapkan Data Akurat UMKM
Menurutnya para pelaku IKM garmen merasa produk mereka tidak dapat bersaing dengan barang jadi impor yang belum di kenakan bea masuk tambahan seperti bahan baku impor.
"Kondisi tersebut ditambah banyak pihak yang beralih untuk mengimpor produk barang jadi karena dinilai lebih mudah dan ekonomis dibandingkan dengan memproduksi di dalam negeri sendiri," kata dia.
Berdasarkan data dari BPS, yang kemudian diproses APIKMI menunjukkan impor kerudung/scraft dari lima negara yakni China, Turki, Malaysia, India dan Pakistan sejak 2017 hingga 2019 sangat besar. Pada tahun 2017 impor sebesar 8,6 juta Kg atau sebanyak 84,1 juta Pcs. Pada tahun 2018 menjadi sebesar 12,9 juta Kg atau sebanyak 125,2 juta Pcs, kemudian pada tahun 2019 sebesar 10,9 juta Kg atau sebanyak 105,6 juta Pcs.
"Hal ini menunjukkan bahwa safeguards untuk barang jadi garmen harus segera di realisasikan. Karena dapat terlihat angka impor yang masuk ke Indonesia untuk barang jadi kerudung/scarf saja, jumlahnya begitu besar," katanya.
Oleh karena itu para pelaku IKM garmen yang diwakili oleh APIKMI menurut Widia meminta penjelasan kepada Pemerintah khususnya Kementrian Perdagangan dan Kementrian Perindustrian, mengenai tidak diberlakukannya bea masuk pengamanan atau safeguards barang jadi. Sementara untuk bahan baku diberlakukan bea masuk pengamanan.
"Apa yang menjadi pertimbangannya? Karena secara bisnis akan lebih menguntungkan Impor barang jadi dan secara langsung dapat membunuh industri IKM garmen," tuturnya.
Pemerintah menurut dia harus bertindak cepat, untuk menerbitkan kebijakan safeguards barang jadi impor.
Kebijakan tersebut dapat meringankan para pelaku IKM sektor konveksi ataupun garment dan barang barang produksi lokal baik dari para pelaku IKM ataupun industri dalam negeri dapat menjadi primadona di pasar domestik negerinya sendiri.
"Yang menjadi harapan utama ialah agar proses produksi pelaku IKM garmen/konveksi kembali stabil dan harga jual yang ditawarkan ke konsumen tetap kompetitif," pungkasnya.