Djoko Tjandra Terbukti Suap 2 Jenderal dan Jaksa Pinangki, Permohonan JC Juga Ditolak Hakim
Terbukti suap penegak hukum, terdakwa Djoko Tjandra divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta akhirnya menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair enam bulan kurungan kepada pengusaha Djoko Soegiarto Tjandra.
Pendiri Grup Mulia itu dinilai terbukti bersalah menyuap sejumlah penegak hukum terkait pengecekan status red notice dan penghapusan namanya dari Daftar Pencarian Orang (DPO) dan pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA).
”Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan, serta pidana denda Rp100 juta subsidier 6 bulan,” kata ketua majelis hakim Muhammad Damis saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (5/4).
Vonis hakim untuk Djoko Tjandra ini lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum.
Sebelumnya jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan empat tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair enam bulan kurungan kepada Djoko Tjandra.
Baca juga: Kubu Djoko Tjandra Tolak Semua Dalil Jaksa di Kasus Red Notice dan Pemufakatan Jahat
Dalam pertimbangan vonisnya majelis hakim menilai Djoko Tjandra terbukti melanggar tiga dakwaan.
Pertama, Djoko Tjandra terbukti menyuap dua jenderal Polri sebesar Rp 8,3 miliar.
Dua perwira tinggi yang dimaksud yakni mantan Kadiv Hubinter Polri, Irjen Napoleon Bonaparte dan eks Kakorwas PPNS Bareskrim, Brigjen Prasetijo Utomo.
Melalui rekannya Tommy Sumardi, Djoko memberikan uang kepada Irjen Napoleon Bonaparte sebesar Sin$200 ribu dan US$370 ribu, serta uang sebesar US$100 ribu kepada Brigjen Prasetijo Utomo. Suap diberikan agar status Djoko Tjandra dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Imigrasi dihapus.
Kedua, Djoko Tjandra dinilai terbukti menyuap eks Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari senilai USD 500 ribu.
Suap itu diberikan untuk pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejagung agar Djoko Tjandra tidak dieksekusi ke penjara atas kasus hak tagih Bank Bali.
Uang diterima Pinangki melalui kerabatnya sekaligus politikus Partai NasDem, Andi Irfan Jaya.
Baca juga: Tersangkut Korupsi Asabri dan Disita Kejagung, Hotel Brothers Solo Baru Masih Terima Tamu
Terakhir, Djoko Tjandra dinilai melakukan pemufakatan jahat bersama Jaksa Pinangki dan Andi Irfan Jaya untuk menyuap pejabat Kejagung dan MA sebesar USD 10 juta untuk pengurusan fatwa. Jaksa berujar mereka menjanjikan uang US$10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.
Hakim juga menguraikan sejumlah hal yang memberatkan maupun meringankan bagi Djoko.
Hal memberatkan, perbuatan Djoko tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi dan dilakukan untuk menghindari keputusan pengadilan.
Sedangkan hal meringankan yakni terdakwa bersikap sopan selama persidangan dan telah berusia lanjut.
Justice Collaborator
Selain menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta juga menolak permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan Djoko Tjandra.
Hakim menilai Djoko tak memenuhi syarat untuk mendapatkan JC.
Hakim menyatakan, ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi bagi seorang terdakwa bila ingin jadi JC.
Hal tersebut sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011, yang isinya yakni terdakwa bukanlah pelaku utama, mengakui perbuatannya, dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.
Hakim kemudian membeberkan pertimbangan mengapa Djoko Tjandra dinilai tak mengakui perbuatannya.
Di antaranya, Djoko mengaku tak ingat soal uang Rp 10 miliar yang diserahkan kepada Tommy Sumardi terkait pengurusan penghapusan DPO di Ditjen Imigrasi.
Padahal, kata hakim, dalam pemeriksaan perkara di persidangan, Djoko Tjandra sendiri yang mengakui bahwa telah meminta tolong Tommy Sumardi atas rekomendasi dari mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Disebutkan bahwa Tommy kenal dengan banyak pihak di Interpol Polri.
"Dengan demikian, terdakwa telah mengetahui kepada siapa uang tersebut diberikan untuk mengurus red notice, penghapusan status DPO atas nama terdakwa apalagi saksi terdakwa Tommy Sumardi selalu menyampaikan progres kepada terdakwa hingga memberikan informasi kepada terdakwa bahwa status DPO terdakwa sudah dihapus oleh ditjen imigrasi," kata hakim.
Atas dasar itulah hakim menilai Djoko Tjandra tak memenuhi kualifikasi untuk menjadi JC. Sebab ia tak mengakui perbuatannya.
"Oleh karena demikian, keterangan terdakwa yang menyatakan bahwa uang tersebut merupakan komitmen fee dan kepada siapa uang tersebut diberikan menunjukkan bahwa terdakwa tidak mengakui kejahatan yang dilakukannya. Majelis berpendapat bahwa terdakwa tidak memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai JC dalam perkara a quo sehingga permohonan Saudara di atas tidak dikabulkan," ujar hakim.(tribun network/ham/dod)