Dewas KPK Tidak Akan Anulir SP3 Sjamsul Nursalim
Dewas KPK telah menerima laporan terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean menyebut pihaknya telah menerima laporan terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Kata Tumpak, Dewas KPK belum bisa memberikan tanggapan atas penerbitan SP3 kasus yang menyeret pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Sjamsul Nursalim.
Tumpak menyatakan terlebih dahulu bakal mempelajari laporan dari pimpinan KPK.
"Saya belum bisa berikan tanggapan. Kami akan pelajari, tapi hasil evaluasi kami tentu tidak akan anulir SP3 itu. Kami bukan pihak yang turut memutuskan SP3, kami hanya terima laporan karena baru kemarin sore, belum ada waktu untuk kami pelajari," kata Tumpak di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (8/4/2021).
"Di dalam ketentuan, pimpinan akan membuat laporan ke (Dewas) KPK itu satu minggu setelah diterbitkan SP3," terangnya.
Sebagai informasi, Sjamsul dan Itjih ditetapkan KPK sebagai tersangka pada Senin (10/6/2019).
Saat itu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, total kerugian negara akibat perbuatan Sjamsul Nursalim dan istri diduga mencapai Rp4,58 triliun.
KPK mengatakan penyelidikan kasus ini dilakukan sejak Agustus 2013.
Saut juga mengatakan telah mengirim surat untuk penyidikan lebih lanjut, tapi keduanya tidak pernah datang untuk memenuhi panggilan KPK.
Baca juga: Kasus BLBI di-SP3 KPK, Bagaimana Status DPO Sjamsul Nursalim?
Sjamsul Nursalim dan istri disangkakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
BLBI merupakan skema pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998.
Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF) dalam mengatasi masalah krisis.
Pada Desember 1998, BI menyalurkan BLBI sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank.
Salah satu bank yang mendapat suntikan dana adalah BDNI. Sjamsul adalah pemegang saham pengendali BDNI.
Kini kasus tersebut telah disetop oleh KPK. Salah satu alasannya adalah agar ada kepastian hukum setelah penyelenggara negara dalam kasus ini, Syafruddin Arsyad Temenggung, divonis lepas oleh MA.
Syafruddin merupakan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).