Yenny Wahid: Radikalisme Bukan Persoalan Ajaran Agama
Yenny mengatakan yang jadi PR bagi pemerintah adalah mewaspadai teroris milenial, termasuk yang ada di dalamnya adalah perempuan.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Yenny Wahid, Direktur Wahid Foundation menegaskan bahwa radikalisme itu faktornya bukan persoalan ajaran agama.
Pernyataannya ini dibuktikan dari penelitian Wahid Foundation, dimana faktor seseorang dapat terdorong melakukan aksi terorisme adalah yang berkaitan dengan kesehatan mental.
“Faktor terbesar yang mendorong orang jadi radikal adalah perasaan gelisah, cemas, marah, dan adanya ketidakadilan yang dia ingin meluruskannya. Atau juga rasa frustasi, kegelisahan dan rasa tidak percaya diri, kemudian dia bertemu dengan orang-orang yang mendoktrinasi yang mengatasnamakan agama,” kata Yenny Wahid saat ditemui di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis (8/4/2021).
Baca juga: Polisi Bisa Jerat Pemilik Akun Medsos Radikal
Menurutnya ketika seseorang merasakan kegelisahan, menjadi mudah untuk dimasuki doktrinisasi yang seolah-olah menawarkan jawaban atas kegelisahannya.
Yenny mengatakan orang itu akan seolah-olah merasa menjadi penting dan ketika orang yang tidak percaya diri itu mendapat peran untuk menjadi pahlawan, itu akan mereka ambil.
“Apalagi jika dasar nya seolah-olah adalah agama,” lanjutnya.
Yenny berujar doktrin tersebut bukan hanya terkait agama, namun doktrin itu juga bisa soal politik.
Hal tersebut dikarena isu politik yang berdasarkan teori konspirasi itu mampu membuat orang bersikap radikal.
Baca juga: Mantan Napi Terorisme: Para Ulama Perlu Diberdayakan untuk Tangkal Paham Radikal
Seperti yang terjadi di AS, ketika Trump membuat konten di medsos yang memprovokasi pengikutnya, sehingga mereka berbondong-bondong datang ke Capitol untuk melakukan penyerangan.
Pengikut yang gelisah karena merasa pemerintah baru akan membuat kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka anut, kemudian melakukan perbuatan radikal.
“Jadi ini bukan permasalahan agama, tapi permasalahan kegelisahan, ketidak percayaan diri, kecemasan dan ketakutan yang kemudian dieksploitasi oleh kelompok radikal tersebut,” katanya.
Yenny mengatakan yang menjadi pekerjaan rumah baik pemerintah maupun semua pihak yang ada di Indonesia terkait radikalisasi adalah mewaspadai teroris milenial, termasuk yang ada di dalamnya adalah perempuan.
Karena milenial sangat rentan merasa gelisah, cemas, dan rentan terhadap tekanan dari lingkungan.
“Bahaya jika mereka merasa tidak berarti, karena mereka ingin dianggap, eksis, kemudian dikasih muatan agama supaya mereka eksis, tapi eksisnya keliru. Ini PR besar kita bagaimana menumbuhkan resiliensi terhadap anak muda agar bisa lebih kuat, tidak tertarik dengan narasi itu,” katanya.
Baca juga: Razia di Lapas Lumajang, Petugas Temukan Buku Jihad
Peran orangtua, institusi pendidikan dan masyarakat sangat penting dalam menangani isu ini, termasuk didalamnya ada peran pemuka agama untuk melakukan pendekatan kemanusiaan.
Semuanya harus berkolaborasi dan terlibat untuk mencegah terorisme, karena tidak cukup dengan hanya mengandalkan kerja dari apparat.
“Ini harus kolaborasi dan semuanya terlibat. Tidak bisa hanya dikasih ke polisi. Persoalannya tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan keamanan, tapi juga harus dengan pendekatan kemanusiaan,” ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.