Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

KPK: Suap Masih menjadi Modus Pelaku Usaha

Petinggi KPK menyebutkan perilaku suap masih menjadi modus utama pelaku usaha di Indonesia.

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in KPK: Suap Masih menjadi Modus Pelaku Usaha
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Ilustrasi. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diwakili Direktorat Antikorupsi Badan Usaha (AKBU), menyebutkan perilaku suap masih menjadi modus utama pelaku usaha di Indonesia.

Hal ini disampaikannya saat menjadi narasumber dalam acara bertajuk Directorship Program: No Corruption and No Gratification Sebagai Wujud Nilai Amanah IPC, yang diselenggarakan oleh Indonesia Port Corporation (IPC) atau PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, bertempat di Ballroom Hotel Holiday Inn, Jakarta, Jumat (16/4/2021).

“Berdasarkan data perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, yang melibatkan pelaku usaha, baik itu yang dilakukan pihak swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sebagian besar perilaku korupsi dari pelaku usaha itu berupa penyuapan,” sebut Direktur AKBU KPK Aminudin lewat siaran pers KPK, Jumat (16/4/2021).

Baca juga: KPK Buka Penyidikan Baru: Nurhadi Diduga Disuap Eks Petinggi Lippo Group

Berdasarkan data tindak pidana korupsi yang ditangani KPK sejak 2004 sampai Desember 2020, tercatat total 1.071 perkara, terdiri atas perilaku penyuapan sebanyak 704 perkara, Pengadaan Barang dan Jasa atau PBJ (224 perkara), penyalahgunaan anggaran (48 perkara), tindak pidana pencucian uang (36 perkara), perizinan (23 perkara), pemerasan (26 perkara), dan merintangi proses penindakan KPK (10 perkara).

Aminudin melanjutkan, sesuai Pasal 12B ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas mereka.

Sementara, pada Pasal 12B ayat 2, kata Aminudin, pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Berita Rekomendasi

“Suap merupakan tindak pidana bagi pemberi maupun penerima. Tapi, sanksi hukum tidak berlaku, jika penerima melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Aminudin.

Baca juga: Didakwa KPK Terima Suap Rp 25,7 M, Edhy Prabowo: Saya Tak Bersalah

Sebelumnya, saat membuka acara, Direktur Utama Indonesia Port Corporation (IPC) atau PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Arif Suhartono menegaskan, pihaknya selalu berusaha agar dalam pelaksanaan tugas sehari-hari tak ada aturan yang ditabrak.

“Kita ingin berperan lebih banyak dalam perbaikan sistem logistik di Indonesia. Dalam setiap proses harus melalui aturan yang benar. Kita harus menerapkan Good Corporate Governance (GCG) secara tepat. Di sinilah pentingnya berkomunikasi dan meminta masukan dari KPK, sehingga apa yang kita lakukan, meskipun tujuannya baik, bila ada proses yang tak baik hasilnya akan tak baik,” kata Arif.

Arif meyakini, semua pegawai dan pemangku-kepentingan di PT Pelindo berkomitmen untuk perbaikan sistem logistik di Indonesia, dengan melaksanakan tugas secara tepat dan tidak melanggar ketentuan. 

Selanjutnya, Komisaris Utama IPC Moermahadi Soerja Djanegara meminta semua jajaran PT Pelindo II untuk mencegah korupsi dan kecurangan atau fraud di internal perusahaannya.

Yang diperlukan, ucapnya, adalah komitmen semua pemangku-kepentingan PT Pelindo II.

“Korupsi dalam IPC akan menjadikan negara tidak mampu bersaing dengan negara lain, karena biaya logistik akan menjadi sangat tinggi. Karena itu, korupsi, fraud, dan lainnya, harus dicegah di perusahaan ini. IPC telah menerapkan beberapa cara untuk mencegah korupsi, yakni menetapkan amanah sebagai core value, implementasi manajemen risiko, pengendalian gratifikasi, dan penerapan Whistle-Blowing System (WBS),” urai Moermahadi.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas